TeTesan Tinta Seputih SaLju ...



blog ini sebagian besar berisi corat-coretku, makalah-makalah kuliyahku, tugas-tugas kuliyah, materi kuliyah, puisiku, & ade beberape lirik lagu n nasyid kesukaan ku ....... ***heheheheh****

Selasa, 12 Juni 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN


A.     BIOGRAFI KH. AHMAD DAHLAN
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta[1] pada tanggal 1 Agustus 1868 dan meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari 1923.[2] Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal dilingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama Abu Bakar bin Sulaiman, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Ibunya adalah putri H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.
K.H. Ahmad Dahlan sewaktu kecilnya bernama Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya adalah perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilahnya, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam ditanah Jawa, demikian dijelaskan oleh Hasan Basri dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam.
Hasan Basri melanjutkan bahwa pada umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Ketika kembali kekampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, Ahmad Dahlan kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, sempat berguru kepada syeh Ahmad Khatib yang  juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendidi, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, LH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[3]
Pada usia yang masih muda, Ahmad Dahlan membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Sebagaimana dijelaskan oleh Delias Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.[4]
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.
B.     PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komfrehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Adapun upaya untuk mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan ini meliputi[5]:
1.    Tujuan Pendidikan
Menurut Ahmad Dahlan Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, yaitu alim dalam agama, luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa baik sebagai hamba Allah maupun khalifah dimuka bumi. Untuk mencapai tujuan ini proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.
Menurut Ahmad Dahlan upaya ini akan terealisasikan manakala proses pendidikan bersifat integral yang mampu menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Untuk menciptakan peserta didik yang demikian, maka sumber ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2.      Materi Pendidikan
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dilembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum.[6]
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.       Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.       Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
3.      Metode Pembelajaran
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan.
Pertama, dalam proses belajar-mengajar, sistem yang dipakai masih menggunakan sorogan (khalaqah), ustadz/kiyai dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Kondisi ini membuat pengajaran nampak tidak demokratis. Fasilitas-fasilitas modern yang sebenarnya baik untuk digunakan dilarang untuk dipakai karena menyamai orang kafir.
Kedua, materi dan kurikulum yang disajikan masih berkisar pada studi Islam klasik, misalnya, fikih, tasawuf, tauhid, dan sejenisnya. Ilmu-ilmu itu wajib syar'i untuk dipelajari. Sementara ilmu modern tidak diajarkan karena ilmu itu termasuk ilmu Barat yang haram hukumnya bagi orang Islam untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu selain studi Islam klasik tersebut dianggap bukan ilmu Islam. Padahal kalau diteliti, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari ilmu yang sudah dikembangkan oleh umat Islam pada zaman keemasan Islam.
Ketiga, pendidikan modern hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda ini tidak diajarkan ilmu-ilmu keislaman. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam pendidikan ala Barat ini adalah orang-orang priyayi atau pegawai pemerintah Belanda.
Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqam yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun perbedaan model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarka oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a.       Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b.       Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.       Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.[7]
4.      Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Amir Hamzah Wirjosukarto dalam bukunya yang berjudul Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam .
Amir Hamzah Wirjosukarto, melanjutkan memaparkan mengenai pribadi K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.
Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan.[8]
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua, pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model penyelenggaraan, krakter dan produk alumni model ala Barat di pihak lain, seperti dijelaskan di atas mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Melalui Muhammadiyah Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang saat itu, mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.
C.      KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa K. H. Ahmad Dahlan berasal dari keluarga yang agamis dan terpandang, ayahnya adalah seorang imam/khotib di masjid Agung Keraton Yogyakarta. Sedangkan ide-ide yang dikemukakan beliau adalah membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang menggabungkan sistem pendidikan pesantren (sorogan/halaqah) dengan sistem pendidikan Belanda (sistem klasikal).
Diharapkan dengan cara ini seorang tamatan madrasah atau sekolah umum akan muncul pribadi-pribadi muslim yang utuh.
Ahmad Dahlan tidak mewariskan tulisan yang bisa kita baca, tetapi mewariskan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Memang dorongan besarnya bukanlah menjadi man of thought tapi man of action. Dia mengajar orang untuk berbuat, bukan untuk berpikir.


[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm: 293
[2] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm: 234
[3] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm: 235
[4] Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm 85
[5] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107
[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm: 306
[7] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107
[8] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam ( Jember : Mutiara Offset, 1985)

2 komentar: