TeTesan Tinta Seputih SaLju ...



blog ini sebagian besar berisi corat-coretku, makalah-makalah kuliyahku, tugas-tugas kuliyah, materi kuliyah, puisiku, & ade beberape lirik lagu n nasyid kesukaan ku ....... ***heheheheh****

Jumat, 20 April 2012

QUR'AN DAN AYAT QUR'AN


Perbedaan Qur’an dan Ayat Qur’an menurut Pendekatan Hikmah dan Epistemic Literalistic sebagaimana yang telah saya pahami dan saya dapatkan selama mengikuti perkuliahan Tafsir Tarbawi 1 dan Pengajian dzikir, adalah sebagai berikut :
            Qur’an adalah sesuatu yang abstrak, yaitu yang tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar, tidak dapat disuarakan, dan tidak dapat diraba oleh panca indra. Yang berada didalam hati Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. dalam teks Al-Qur’an, QS.Al-baqarah /2:97 :
            قُلْ مَن كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ {97}
Artinya : Katakanlah:"Barang siapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 2:97)
Dari firman Allah ini, jelas bahwa yang disebut Qur’an adalah sesuatu yang abstrak yang berada didalam hati Nabi Muhammad SAW yang menuntun dan mendorong Nabi Muhammad SAW yang bersifat jasadi untuk berucap. Sehingga ucapan Nabi Muhammad SAW yang bersifat jasadi ini dapat didengar oleh panca indra manusia yang bersifat jasadi juga, yang kemudian ditulis dalam lembaran kertas dan dijilid menjadi sebuah buku yang dapat dibaca. Dari sinilah muncul pengertian Qur’an secara Epistemic Literalistic yang mengartikan Qur’an sebagai bacaan, yang sesungguhnya Teks Kitab Al-Qur’an yang ditulis menjadi sebuah buku yang dapat dibaca  itulah yang disebut sebagai bacaan, bukan Qur’an, karena Qur’an itu bersifat abstrak yang berada didalam hati Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan yang disebut dengan Ayat Qur’an adalah sesuatu yang berasal dari Qur’an, dan Qur’an itu bersifat abstrak, sehingga Ayat Qur’an juga bersifat abstrak, yakni yang tidak dapat didengar, tidak dapat dilihat, tidak dapat diucapkan dan tidak dapat diraba oleh panca indra, yang berada didalam hati manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam teks Al-Qur’an, QS Fushshilat/41:53
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ {53}
Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (QS. 41:53)
Dari firman Allah ini jelas bahwa Allah SWT telah menitipkan ayat-ayatnya pada diri manusia sebagai tanda kebenaran dari Allah, yakni berupa iman/ kepercayaan Allah yang dititipkan pada diri manusia sebagai petunjuk yang senantiasa mengatakan dan menyuarakan sesuai apa yang dilihat dan dikerjakannya. Sehingga Ayat Qur’an itu bukan berupa tulisan atau penggalan-penggalan teks Al-Qur’an sebagaimana yang kebanyakan dipahami oleh orang-orang saat ini, yang hanya berdasarkan Epistemic Literalistic saja. Namun, Ayat Qur’an adalah sesuatu yang abstrak yang berada didalam dada/ hati manusia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan Qur’an dan Ayat Qur’an sebagaimana yang telah saya pahami adalah terletak pada tempatnya, yakni, Qur’an berada didalam dada Nabi Muhammad SAW sedangkan Ayat Qur’an berada didalam dada manusia.

 

Kamis, 19 April 2012

TALAK, RUJUK DAN IDDAH

Alhamdullillah,,, akhirnya sesai juja makalah baru dyah ne,,,, makalah FIQIH,,, tentang "TALAK, RUJUK DAN IDDAH,,, mudah-mudahan bermanfaat buat temen-temen cemua ...








1.      Talak
a.      Pengertian Talak
Kata talak sebagaimana dijelaskan oleh Saleh Al-Fauzan dalam bukunya, Fiqih Sehari-hari, diambil dari bahasa Arab yaitu at-Takhaliyatu yang artinya melepas atau pelepasan.[1]
Sedangkan Talak menurut istilah agama, Sayyid Sabiq dalam kitab  Fiqih Sunnah, mendefinisikannya sebagai berikut:
“talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.”[2]
b.      Hukum Talak
Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya, menurut Mahmud Yunus, hukum talak ada lima, yaitu wajib, makruh, mubah (boleh), sunat dan haram.[3]
Dari beberapa pendapat tersebut, Sayyid Sabiq menyatakan pendapat yang paling benar adalah yang mengatakan “terlarang (makruh)”, kecuali karena alasan yang benar. Adapun golongan yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali, mereka melandaskan hal ini pada hadis Rasullullah SAW. :
“Rasullullah SAW. Bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai.” (maksutnya suka kawin dan cerai)”[4]
Maksutnya adalah, hukum talak menjadi makruh apabila tidak dibutuhkan atau tidak ada hal-hal yang menyebabkan talak itu harus dilakukan. Misalnya, kondisi suami istri tersebut dalam keadaan yang stabil, sakinah, mawaddah warahmah dan tidak ada perubahan atau permasalahan yang mengkhawatirkan. Bahkan sebagian ulama mengatakan talak diharamkan dalam kondisi seperti ini, hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW. :
“Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Nabi SAW. mengatakan hal ini sebagai perbuatan yang halal, tetapi sangat dibencii oleh Allah SWT. ini menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti ini hukum talak itu makruh meskipun asalnya mubah. [5] Hal ini dikarenakan talak dalam kondisi seperti ini bisa menghilangkan hubungan pernikahan yang sebenarnya didalamnya terdapat kebaikan-kebaikan hubungan rumah tangga yang dianjurkan oleh syari’at Islam.
Adapun hukum talak menjadi sunah apabila talak sangat dibutuhkan, demi mempertahankan pernikahan dari sesuatu yang bisa membahayakan hubungan seorang suami dengan seorang istri. Misalnya terjadi perselisihan yang menyebabkan salah seorang diantara mereka menyimpan dendam atau menyimpan rasa benci terhadap yang lainnya, tentunya hal ini akan sangat merugikan dan membahayakan bagi mereka. Sabda Nabi Muhammad SAW.:“Tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh juga merugikan orang lain.”
Hukum talak menjadi mubah (boleh) apabila suami membutuhkan hal tersebut dikarenakan buruknya akhlak sang istri yang hal tersebut bisa membawa bahaya keluarga yang dibinanya.[6] Karena dengan kondisi seperti ini akan sulit mencapai tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Apalagi jika pernikahan tersebut tetap dipertahankan.
Talak hukumnya juga bisa menjadi wajib, yaitu talak yang dijatuhkan oleh hakam ( penengah ), hal ini dikarenakan perpecahan antara suami istri yang sudah berat, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, yaitu jika hakam berpendapat bahwa tatkala jalan satu-satunya untuk menghentikan perpecahan adalah talak.[7] Misalnya, istri sering meninggal- kan sholat atau menunda-nunda waktu sholatnya, sedangkan ia tidak bisa lagi untuk dinasehati, atau jika seorang istri tidak bisa menjaga kehormatannya lagi, maka suami wajib mentalak (menceraikannya) demi menjaga kemaslhahatan rumah tangganya. Demikian juga apabila suami tidak dapat istiqamah dalam agamanya atau sampai kehilangan aganya, maka seorang istri wajib menuntut cerai dari suaminya atau menceraikan dirinya dengan khulu’ atau fidyah.
Yang terakhir, talak hukumnya bisa menjadi haram ketika talak dilakukan tanpa adanya alasan apapun. Yaitu, tidak ada tujuan baik dan kemaslahatan apapun yang ingin dicapai dari talak tersebut. Talak juga haram dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang sedang haid, nifas atau saat istrinya dalam keadaan suci tapi belum pasti kalau dia tidak hamil.
c.       Macam-macam Talak
Mahmud Yunus dalam bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam, menjelaskan secara lengkap macam-macam talak,[8] yang pada intinya adalah sebagai berikut:
1)      Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali kepada bekas istrinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan baru dan masih dalam masa iddah sang istri, seperti talak satu dan talak dua yang tidak disertai dengan uang (iwad) dari pihak istri.
2)      Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuki kembali oleh seorang suami kepada bekas istrinya, kecuali dengan akad nikah baru.
a)      Talak ba’in kecil
Talak ba’in kecil adalah talak satu dan talak dua yang disertai dengan uang (iwad) yang diberikan oleh pihak istri kepada suami. Selain itu, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum dicampuri, juga termasuk talak ba’in kecil.
Jika talak ba’in kecil ini telah terjadi dan ingin rujuk kembali, maka harus menikah dengan akad nikah yang baru.
b)      Talak ba’in besar
Talak ba’in besar adalah talak tiga. Suami yang menjatuh- kan talak tiga kepada istrinya, tidak boleh rujuk kembali dengan bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, serta telah bersetubuh, bercerai dan telah habis masa iddahnya.
d.      Kewajiban-kewajiban Suami kepada Istri yang ditalak
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya, mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan menurut Mahmud Yunus, jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka bekas istrinya dapat mengajukan tuntutan kepada Hakim.[9] Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Memberikan mut’ah (pemberian untuk menggembirakan hati) yang pantas kepada bekas istrinya, baik berupa benda atau uang.
2)      Memberi nafkah atau pakaian dan tempat tinggal selama bekas istrinya dalam masa iddah.
3)      Membayar atau melunasi mas kawin apabila belum di bayar atau belum dilunasi.
4)      Memberi belanja untuk pemeliharaan dan kewajiban bagi pendidikan anak-anaknya menurut batas kesanggupannya, sampai anak-anaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan.
2.      Rujuk
a.      Pengertian Rujuk
Rujuk adalah upaya suami berbaikan dengan istrinya dimasa iddah,[10] yakni kembali kepada wanita yang telah diceraikan, bukan dengan talak ba’in, hingga hubungan suami istri seperti biasanya tanpa diikuti dengan akad nikah baru,[11] rujuk dapat terlaksana dengan ucapan dan perbuatan.
Rujuk merupakan hak suami, suami berhak kembali kepada istrinya baik istrinya suka maupun tidak suka, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abd. al-‘Adzim Ma’ani & Ahmad al-Ghundur dalam buku Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis yang menerangkan bahwa rujuk merupakan hak mutlak suami dan tidak diharuskan adanya kerelaan dari istrinya.[12] Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. dalam teks Al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {228}
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)
b.      Syarat-syarat sahnya Rujuk[13]
1)      Talak yang dijatuhkan belum melampaui batas yang ditentukan, yakni lebih dari tiga bagi laki-laki merdeka dan lebih dari dua kali bagi budak laki-laki. Jika sudah sampai batas tersebut, maka laki-laki tidak boleh merujuk kembali istrinya sebelum istrinya menikah dengan orang lain.
2)      Istri yang diceraikan sudah pernah digauli. Jika suami menceraikan sebelum digauli maka ia tidak boleh merujuk san istri. Karena istri yang diceraikan sebelum digauli tidak mempunyai masa iddah, sebagaimana firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al- Ahzab:49)
3)      Talak tersebut bukan talak dengan ganti ( khulu’ ). Jika talak tersebut dengan membayar ganti, maka suami tidak berhak rujuk kembali kecuali dengan akad nikah yang baru dan dengan ridha sang istri.
4)      Nikah yang terjalin adalah nikah yang sah. Jika suami menatuhkan talak kepada istrinya yang dinikahi dengan cara tidak sah maka tidak boleh rujuk diantara mereka, yakni tidak boleh kembali setelah terjadinya talak.
5)      Rujuk tersebut terjadi saat masa iddah, sebagaimana firman Allah SWT dalam teks Al-Qur’an surah Al-baqarah:228
6)      Rujuk itu terlaksana dengan bebas tanpa syarat. Tidak sah suatu rujuk jika disertai syarat-syarat tertentu.
c.       Hikmah Disyari’atkannya Rujuk
Segala sesuatu yang disyari’atkan oleh agama Islam pasti mempunyai hikmah tertentu, adapun hikmah rujuk menurut Saleh Al Fauzan adalah untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk introspeksi diri,[14] jika ia menyesali perceraiannya dan ingin memulai hubungan baru lagi dengan istrinya, maka masih ada kesempatan yang terbuka baginya. Hal ini merupakan rahmat dan kasih saying Allah SWT kepada hamba-Nya.
3.      Iddah
a.      Pengertian Iddah
Salah satu pengaruh dari perceraian adalah adanya masa iddah, yakni masa penantian yang telah ditentukan waktunya dalam syari’at.
Iddah berasal dari bahasa arab adad yang artinya menghitung.[15] Maksutnya, seorang perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.
 Iddah dalam istilah agama adalah masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah pisah ( cerai ) dari suaminya,[16] kecuali bagi istri yang belum dicampuri, ia tidak diberikan iddah sama sekali,[17] sehingga setelah perpisahan ( perceraian) berlangsung, seorang istri yang belum dicampuri boleh menikah lagi.
Allah SWT. menegaskan masalah iddah ini dengan firmannya pada teks Al- Qur’an surah Al-Baqarah : 288
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ....
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…. (Al baqarah : 288)
Allah juga berfirman da;am Al-Qur’an Surah Ath-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا {4}
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. 65:4)
b.      Macam-macam iddah (waktu menunggu) bagi wanita
1)      Bagi seorang istri yang masih berhaid, masa iddahnya adalah tiga kali suci. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Mahmud Yunus dalam bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam, yakni, seorang istri yang masih muda dan berhaid tiap-tiap bulan, bila diceraikan oleh suaminya maka iddahnya tiga kali suci menurut Syafi’I dan Maliki, dan tiga kali haid menurut Hanafi dan Hambali.[18]
2)      Bagi seorang istri yang sudah tidak haid atau masih belum haid, masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid, yakni seorang istri yang masih kecil dan belum haid atau seorang istri yang telah putus haid maka masa iddahnya tiga bulan.[19]
3)      Bagi seorang istri yang sedang hamil, masa iddahnya sampai melahirkan anaknya,[20] meskipun dalam beberapa hari saja, dalam hal ini Mahmud Yunus menegaskan bahwa para ulama telah sepakat tentang hal ini sebagaimana firman Allah SWT. :

“… istri-istri yang hamil iddahnya sampai melahirkan kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq :4)
4)      Seorang istri yang ditinggal mati suaminya, Saleh Al Fauzan menjelaskan, bila seorang istri tersebut tidak sedang hamil, maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari baik ia sudah digauli maupun belum digauli. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ {234}
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”  (QS. 2:234)
Dan jika seorang istri tersebut sedang dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai ia melahirkan anaknya, meskipun kurang dari empat bulan sepuluh hari maupun lebih.[21]
c.       Ketentuan-ketentuan yang berlaku selama masa iddah
Menurut Mahmud Yunus, dalam bukunya Hukum-Hukum Perkawinan Dalam Islam, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang berlaku selama masa iddah menurut mazhab yang empat dan para ulama,[22] yaitu sebagai berikut:
1)      Istri yang ditalak dengan talak raj’I, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya. Dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Hanya nafkah dan kediaman untuk perempuan yang boleh dirujuk oleh suaminya” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
2)      Istri hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Kalau mereka itu hamil, maka berilah nafkah kepada mereka, hingga mereka melahirkan anaknya.”(Ath –Thalaq :6)
3)      Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak berhak mendapat nafkah menurut Syafi’I, Maliki dan Hambali hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW tentang perempuan yang ditalak tiga, yakni :
“Tidak ada untuknya tempat kediaman, dan tidak pula nafkah.” (HR. Ahmad dan Muslim)
4)      Istri yang dalam iddah karena kematian suaminya, tidak berhak mendapat nafkah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Tiadalah mendapat nafkah perempuan hamil yang kematian suaminya” (HR. Dzar Qathan dengan sanad shahih)
5)      Istri yang ditalak sebelum dicampuri tidak ada masa iddahnya sama sekali dan boleh menikah dengan laki-laki lain setelah diceraikan istrinya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, apabila kamu berkawin kepada perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu talak mereka sebelum kamu campuri, maka tiadalah mereka itu beriddah.” (QS. Al Ahzab :49)
d.      Hikmah Disyari’atkannya Iddah
Istri yang diceraikan suaminya sesudah dicampurinya harus beriddah terlebih dahulu. Adapun hikmah dari disyari’atkannya iddah ini adalah sebagai berikut :
1)      Hikmah yang pertama atas disyari’atkannya iddah ini menurut Saleh Al Fauzan adalah untuk mengetahui keadaan rahim sang istri, apakah ia sedang mengandung atau tidak.[23] Hal ini agar tidak terjadi percampuran benih dengan yang lainnya.
2)      Saleh Al Fauzan melanjutkan, hikmah kedua iddah adalah memberikan kesempatan kepada suami yang menceraikan istrinya untuk kembali lagi kepada istrinya, jika ia menyesali perbuatanyya tersebut.
3)      Hikmah Iddah selanjutnya dijelaskan oleh Mahmud Yunus yaitu bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada kedua suami istri untuk saling mengintrospeksi diri,[24] sehingga jika kedua belah pihak ingin rukuk kembali, maka akan dapat membangun kembali rumah tangganya menjadi lebih baik.


[1] Saleh Al-Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal: 698
[2] Sayyid Sabiq, 1978, FIQIH SUNNAH, BAB 8, Bandung : Al Ma’arif, hal : 7
[3] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta:Hidakarya Agung,hal:112-113
[4] Sayyid Sabiq, 1987, FIQIH SUNNAH, JILID 8, Bandung: Al Ma’arif, hal : 9
[5] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 698
[6] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 698
[7] Sayyid Sabiq, 1978, FIQIH SUNNAH, JILID 8, Bandung : Al Ma’arif, hal : 10
[8] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM,Jakarta:Hidakarya Agung, hal:122-125
[9] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta : Hidakarya Agung, hal : 1125-127
[10] Abd. al-‘Adzim Ma’ani & Ahmad al-Ghundur, 2003, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal : 106
[11] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 710
[12] Abd. al-‘Adzim Ma’ani & Ahmad al-Ghundur, 2003, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal : 106
[13] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 711
[14] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 711
[15] Sayyid Sabiq, 1978, FIQIH SUNNAH, BAB 8, Bandung : Al Ma’arif, hal : 150
[16] Sayyid Sabiq, 1978, FIQIH SUNNAH, BAB 8, Bandung : Al Ma’arif, hal : 150
[17] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta : Hidakarya Agung, hal : 139
[18] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta : Hidakarya Agung, hal :141
[19] Sulaiman Rasyid,1986, FIQIH ISLAM, Jakarta: Sinar Baru,  hal : 361
[20] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta : Hidakarya Agung, hal : 140
[21] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 733
[22] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta : Hidakarya Agung, hal : 141
[23] Saleh Al Fauzan, 2009, FIQIH SEHARI-HARI, Jakarta : Gema Insani, hal : 729
[24] Mahmud Yunus, 1986, HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM, Jakarta:Hidakarya Agung, hal:143