TeTesan Tinta Seputih SaLju ...



blog ini sebagian besar berisi corat-coretku, makalah-makalah kuliyahku, tugas-tugas kuliyah, materi kuliyah, puisiku, & ade beberape lirik lagu n nasyid kesukaan ku ....... ***heheheheh****

Jumat, 06 Januari 2012

HUKUM MENGERJAKAN IBADAH HAJI DUA KALI (LEBIH DARI SATU KALI)


1.      DASAR WAJIBNYA IBADAH HAJI, QS. ALI-IMRAN : 96-97
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ {96} فِيهِ ءَايَاتُُ بَيِّنَاتُُ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {97}
Artinya : “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. 3:96-97)
2.      HUKUM MENGERJAKAN IBADAH HAJI DUA KALI (LEBIH DARI SATU KALI)
a.      Menurut Sayyid Sabiq Dalam Kitabnya FIKIH SUNAH
Sayyid Sabiq, mengemukakan dalam kitab Fikih Sunahnya, bahwa Diwajibkannya mengerjakan ibadah haji hanya satu kali seumur hidup, hal ini sebagaimana kesepakatan para ulama –ijma’- bahwa haji itu tidak wajib berulang kali. Lebih lanjut Sayyid Sabiq mengemukakan, kecuali bila seseorang bernadzar, maka ia wajib memenuhi nadzarnya itu. Jadi mengerjakan ibadah haji lebih dari satu kali merupakan tathawwu’ atau sunat (Sayyid Sabiq, 1978:39).
Hal ini dilandaskan pada hadis nabi, yang diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasullullahh saw. berpidato, sabdanya :
“Hai manusia! Allah telah mewajibkan haji atasmu, maka tunaikanlah.” Seorang laki-laki bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasullullah?” Rasulullah diam tidak menjawab sehingga orang itu mengulanginya yang ketiga kali. Lalu Nabi menjawab: Kalau aku katakana YA maka tentu akan wajib dan kalian semua tidak akan mampu…” (HR Al Bukhari dan Muslim)
b.      Hukum Mengerjakan Ibadah Haji Dua Kali atau Lebih Dalam Kitab Terjemah NAILUL AUTHAR
Dalam kitab terjemah NAILUL AUTHAR bab kitabul manasik pada hadis nomor 2308 dijelaskan bahwa melaksanakan perintah itu (mengerjakan ibadah haji) tidak harus berulang-ulang, yakni wajibnya hanya satu kali seumur hidup (Nailul Authar,2001:1358-1359).
Adapun hadisnya dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Rasullullah saw. berkhutbah dihadapan kami, ia bersabda: “Wahai Manusia, diwajibkan atas kamu sekalian ibadah haji”. Lalu Al-aqra’bin habis berdiri, ia bertanya: “apakah pada setiap tahun ya Rasullullah?” Maka Nabi menjawab: “Kalau aku menjawabnya, tentu wajib haji setiap tahun. Dan kalau wajib setiap tahun, tentu kamu tidak mengerjakannya. Dan memang kamu tidak mampu untuk mengerjakannya. Haji itu sekali (selama hidup), maka barang siapa menambah berarti sebagai satu amalan sunat.” (HR. Ahmad)
c.       Hukum Mengerjakan Ibadah Haji Dua Kali atau Lebih di paparkan Dalam Harian Tribun yang di kuti dari situs webnya http://www.tribunnews.com/2011/11/30/
Ketetapan perintah melakukan ibadah haji secara langsung ada dalam QS.3:97, ini pun dengan bahasa syarat ” …siapa yang mampu…”. Dalam sebuah hadits yang panjang riwayat Ahmad dan Nasai, Rasulullah telah berkata dalam pidato beliau: hai manusia, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah kamu kerjakan. Seorang sahabat bertanya: Apakah tiap tahun ya rasulullah ? Beliau tidak menjawab, dan yang bertanya itu mendesak sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah berkata: kalau jawab saya “ya”, sudah tentu menjadi wajib tiap-tiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya…” . Dengan dua dalil ini maka  hukum dasar haji memang adalah wajib, itupun dengan syarat bagi siapa yang mampu mampu ilmu, mental dan ekonomi. Dalam hadits ini tidak ditegaskan bahwa harus berhaji tiap tahun. Yang ada adalah ancaman bagi siapa yang mampu tetapi tidak berhaji, “ Barang siapa memliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menymaikannya ke baitul haram dan tidak menunaikan ibadah haji maka tidak mengapa baginya wafat sebagai orang Yahudi atau Nasrani”. ( HR. Attirmidzi).
Hukum haji mengulang secara tegas hukumnya tidak wajib, sebagian ulama menjatuhkan hukumnya sunnah (tathawwu). Sunnah suatu perbuatan yang tidak mesti dikerjakan namun memiliki nilai keutamaan. Proses pengerjaan haji mengulang harus melihat kondisi dan situasi serta perintah ajaran lainnya yang lebih utama dan penting. Yusuf Qardhawii -Fuqoha kontemporer Al-Azhar Mesir-  membuat rumusan Fiqih Prioritas, mana perbuatan keagamaan paling penting, penting, dan tidak terlalu penting. Dalam menanggapi hukum haji mengulang beliau mngatakan, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mafsadat, maka langkah yang terbaik yang harus ditempuh ialah agar orang yang sudah satu kali menunaikan ibadah haji  (ibadah haji wajin) dapat menahan diri, dan memberi kesempatan kepada kaum muslimien yang belum menunaikan ibadah haji wajib. Dengan demikian mereka akan mendapat dua manfaat besar. Pertama, sebagian dari harta kekayaanya yang banyak itu dimanfaatkan untuk amal ibadah dan kebajikan lainnya, seperti memperkuat dakwah Islam, membantu sekolah-sekolah muslim, dan lain-lain. Kedua, memberi kelonggaran tempat kepada kaum muslimien lainnya dari berbagai pelosok dunia yang belum pernah melaksanakan ibadah haji fardhu, agar pelaksanaannya tidak berjubelan dan desak-dseakan.
 Dengan demikiann memang ibadah haji mengulang itu penting, tetapi ada ibadah lain yang statusnya sangat penting. Jika dibandingkan antara dalil perintah melaksanakan  ibadah haji dengan perintah untuk membangun umat agar cerdas, bermoral baik dan membantu para kaum miskin, sangat jauh lebih banyak perintah untuk menegakan kebaikan dan membantu orang-orang lemah, cerdas serta berakhlak mulia.

REFERENSI
Al-Qur’an dan terjemahannya
Sabiq, Sayyid. 1978. FIKIH SUNAH Jilid 5. Bandung : Alma’arif
Terjemah NAILUL AUTHAR, Surabaya : Bina Ilmu, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar