TeTesan Tinta Seputih SaLju ...



blog ini sebagian besar berisi corat-coretku, makalah-makalah kuliyahku, tugas-tugas kuliyah, materi kuliyah, puisiku, & ade beberape lirik lagu n nasyid kesukaan ku ....... ***heheheheh****

Sabtu, 19 November 2011

TAKWA DAN AKHLAK : TANGGUNG JAWAB SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa). Yakni, bertakwa dalam kondisi apapun, di mana saja dan kapan saja. Dan perintah takwa dalam setiap kondisi itu diajarkan melalui mengiringi setiap keburukan dengan kebaikan karena kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa akibat keburukan, serta untuk berbuat kepada setiap manusia dengan akhlak yang baik.
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.
Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang pada posisi yang terhormat dan tinggi (Takwa ). Takwa akan memperbaiki hubungan antara hamba dan Allah, sedangkan berakhlak yang mulia memperbaiki hubungan antar sesama. Takwa pada Allah mendatangkan cinta Allah, sedangkan akhlak yang baik mendatangkan kecintaan manusia. Atas dasar itulah penulis memaparkan makalah ini yang berkenaan dengan Takwa dan Akhlak sebagai Tanggung Jawab Sosial.
B.     BATASAN MASALAH
1.      Hadis Tentang Akhlak & Takwa
2.      Sumber Riwayat
3.      Takhrijul Hadis
4.      Asbab al-Wurud Hadis
5.      Fiqhul Hadis
C.    TUJUAN
1.      Mengetahui hadis tentang takwa dan akhlak, serta terjemahannya
2.      Mengetahui sumber riwayat hadis tersebut
3.      Mengetahui tahkrijul hadis tersebut
4.      Mengetahu sebab – sebab munculnya hadis tersebut
5.      Mengetahui fiqhul hadis atau maksut dari hadis tersebut

BAB II
PEMBAHASAN
TAKWA DAN AKHLAK : TANGGUNG JAWAB SOSIAL
1.      Hadis dan Terjemahannya
            عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ ﻟۑ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “ [رواه الترمذي]
Artinya :
“Diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasullullah Saw. berpesan kepadaku : Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Turmuzi).
2.      Sumber Riwayat
Sumber riwayat hadist tersebut yang menyampaikan ke generasi berikutnya hingga diriwayatkan oleh imam Tirmidzi adalah Abu Dzar. Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah dan pedagang yang melewati padang pasir. (http://majlisdzikrullahpekojan /abu-dzar-al-ghifari.html, 2008)
Dalam buku Kisah Sosok Para Sahabat Nabi, Abdurrahman Rafa’at al-Basya, menceritakan bahwa Bani Ghifar adalah sebuah suku badui ditanah Arab yang terkenal akan keberaniannya dan sikap keras dalam pergaulan sehari hari. Sering sekali bani Ghifar melakukan perampokan-perampokan yang berujung pertumpahan darah. Mereka bermukim di lembah Waddan, sebuah daerah yang terletak antara Mekkah dan Syam. Lembah Waddan sering dilalui para saudagar dari Mekkah menuju Syam atau sebaliknya. Bila melalui daerah ini maka kaum saudagar harus extra hati-hati karena tak berapa lama lagi bani Ghifar akan menyergap dengan kebuasaan yang tiada tandingnya.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain. Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayah Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung- hitung resiko mengumumkan secara terang - terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan. (http://majlisdzikrullahpekojan /abu-dzar-al-ghifari.html, 2008)
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Abu Dzar masuk islam berawal ketika saudaranya bernama Anis al- Ghiffari pulang dari mekah dan kepada Abu Dzar, Anis menceritakan bahwa ia bertemu dengan seorang nabi yaitu Nabi Muhammad Saw. yang menyebarkan agama yang ajarannya sama seperti Abu Dzar selama ini yaitu mewajibkan orang-orang kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk dibagikan kepada fakir miskin. Menanggapi informasi yang disampaikan saudaranya itu, kemudian Abu Dzar pergi ke mekah menemui Nabi Saw. dan mengucapkan dua kalimat syahadat secara terang terangan di dekat ka’bah. Abu Dzar  wafat di Rabdzah ( tempat Ia diasingkan akibat kritikannya terhadap bangunan gedung gubernur Muawiyah bin Abu sofyan)  diluar kota madinah pada tahun 32 H dan jenazahnya sempat dishalatkan Ibnu Mas’ud. Dan Ibnu Mas’ud juga wafat sekitar 10 hari  setelah wafat nya Abu Dzar.
Dalam buku Hadis Tarbawi, Wajidi Sayadi, menceritakan bahwa Abu Dzar dikenal dikalangan ahli hadis sebagai periwayat hadis. Ia telah meriwatkan 281 hadis, 31 halaman di antaranya di riwayatkan Bukhari dan muslim dan dikalangan sufi Abu Dzar dipandang sebagai perintis gaya hidup yang menghabiskan sepanjang hidupnya berpeluang untuk kaya dan bisa hidup mewah, namun tidak Ia lakukan. Dan dianggap sebagai pelopor system masyarakat sosialis.
3.      Takhrijul Hadis  
Hadis ini ditemui dalam kitab-kitab hadis hanya sebanyak 6 kali, yaitu satu diantaranya, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunannya pada hadis no. 1978. kemudian satu lagi diriwayatkan oleh Darimi dalam sunannya pada hadis no. 2791. Dan terahir imam Ahmad meriwayatkan sebanyak 4 kali dalam Musnadnya pada hadis no. 20847, 20894, 21554, dan 21026. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja, sebab pesan nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi, 2009 : 61). Dan hanya ada satu teks matan hadis yang susunan redaksinya berbeda, tapi maksudnya sama saja yang juga diriwayatkan ahmad, yaitu :
Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan bergaulah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik. Dan bila enkau telah berbuat kejahatan, maka berbuatlah kebaikan, niscaya Ia akan menghapusnya. “(HR. Ahmad)
4.      Asbab al-Wurud Hadis
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut diatas yaitu ketika Abu Dzar menyatakan keislamannya dimekah, Rasullullah SAW. bersabda kepadanya : “Kebenaran bagi kaummu dengan harapan semoga Allah memberi manfaat kepada mereka” ( Wajidi Sayadi, 2009 : 61 ).
Kemudian Rasullullah mengajarinya ad-din (agama) Islam dan membacakannya Al-Qur’an. Rasullullah SAW juga berpesan, “ Janganlah sekali-kali berterang-terangan tentang Islam di kota Mekkah ini. Aku khawatir orang-orang akan membunuhmu “. Namun, karena tekad Abu Dzar yang begitu kuat sehinnga ia pergi ketengah-tengah orang Quraisy dan mengumukan keIslamannya, saat itu juga ia dihajar dan dikeroyok oleh orang-orang Quraisy yang berada ditempat tersebut. Sapai pada akhirnya Abu Dzar diselamatkan oleh seruan Abbas Bin Abdul Muthalib kepada orang Quraisy “Celakalah kalian ! kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padalah kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar ?”. Mendengar kejadian tersebut Rasullullahpun khawatir dan menyuruh Abu Dzar kembali keperkampungannya ( Abdurrahman Rafa’at al-Basya, 2005 : 37-38).
Namun ketika beliau melihat betapa Abu Dzar sangat berkeinginan tinggal bersamanya dimekkah, Rasullullah SAW. memberitahukan ketidak mungkinannya, dan beliau berpesan: “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“(Wajidi Sayadi, 2009 : 61)
5.      Fiqhul Hadis
1)      Makna Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ini di temui dalam kitab-kitab hadis hanya enam kali, yaitu dalam kitab sunan at-Tirmidzi dan sunan d-Darimi masing-masing sekali, dan 4 kali dalam Musnad Ahmad. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi, 2009 : 62). Hal ini dikarenakan Nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja. Oleh karena itu, dilihat dari segi historis social  latar belakang lahirnya hadis tersebut di atas, Nabi SAW menyabdakannya terkait dengan konteks perilaku dan sikap Abu Dzar sebagai seorang aktifis pemberdayaan sosial yang banyak bergelut memperjuangkan nasib orang-orang lemah, dia ingin sekali tinggal di mekah bersama dengan nabi SAW.
Pesan Nabi SAW kepada Abu Dzar ini dapat kita pahami bahwa keislaman dan kecintaan kepada allah dan rasullullaa itu tidak mesti harus di mekah dan bersama dengan nabi SAW. akan tetapi, dimanapun kita berada keislaman dan ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya. Oleh karena itu, muatan dan pesan utama sesungguhnya yang bisa ditangkap dari teks hadis diatas adalah takwa yang diwujudkan dalam etika social dan tanggung jawab social tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga dan itulah sebabnya Nabi SAW. mempertegas hadis selanjutnya dengan mengatakan dimana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan jahat itu dengan kebaikan dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Penegasan ini berkaitan dengan urusan dan tangggung jawab sosial kemanusiaan dalam kehidupan lebih luas dan nyata.
Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)
Perintah dan larangan Allah dapat dikategorikan dalam dua kelompok (Wajidi Sayadi, 2009 ; 64), yaitu pertama  Perintah dan larangan yang berkaitan dengan alam raya, yang disebut hukum-hukum alam, seperti dinyatakan dalam QS. Fushshilat : 11:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, kami datang dengan suka hati” (QS. Fushshilat : 11).
 Misalnya api membakar atau bulan berputar mengelilingi bumi; dan kedua, Perintah dan larangan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah melakukan shalat yang dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ’ : 78:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu dilaksanakan oleh malaikat” ( QS. Al-Isra’ : 78).
 Kumpulan dari perintah dan larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat. Sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum alam akan diperoleh di dunia, sedangkan sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat akan diperoleh di akhirat. Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi duniawi dan sisi ukhrawi. Sisi duniawi yaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan dan melaksanakan hukum-hukum syariat.
Dalam bukunya Hadis Tarbawi , Wajidi Sayadi telah menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi SAW. yang memuat tema perintah bertakwa kepada Allah SWT selalu dalam konteks yang sebagian besar mengenai masalah social kemanusiaan bahkan termasuk sikap kasih sayang kepada binatang, seperti larangan menghina atau menyakiti,perintah bergaul dengan orang lain secara baik dan sopan ( maksutnya memelihara etika social ), memberikan sedekah (bantuan) walau sebutir kurma, memberi maaf, memberi upah kerja, bersikap adil terhadap anak-anak dan baik terhadap istri/suami dalam membina rumah tangga, bersikap baik terhadap perempuan, jujur, sabar, setia kepada pemimpin, adil sebagai pemimpin dan lain-lain.
Takwa pada dasarnya memiliki karakteristik yang semuanya berkaitan dengan etika social dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana firman ALLah SWT. :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-imran : 133-134)
Dari ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa yang dimaksut dengan muttaqin ( orang bertakwa ) adalah mereka yang membelanjakan sebagian hartanya dalam kondisi lapang dan sempit, yang mampu menahan gejolak amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain.
Sabda Rasullullah SAW dalam hadisnya yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik yang berbunyi :
“ Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisan itu”.
Dari hadis ini Rasullullah SAW menjelaskan bahwa jika dalam urusan ibadah bersamaan dengan urusan social yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan namun bukan ditinggalkan.


2)      Pengertian Takwa
Secara etimologis kata takwa merupakan bentuk masdar dari kata ittaqâ–yattaqiy (اتَّقَى- يَتَّقِىْ), yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Sementara pakar berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata taqwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam al-Quran, misalnya pada QS. Al-Mu’min : 45 dan Ath-Thûr : 27. Kata ini berasal dari kata waqâ–yaqi–wiqayah (وَقَى- يَقِى- وِقَايَة), yang berarti “menjaga diri, menghindari, dan menjauhi”, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan. Penggunaan bentuk kata kerja waqâ (وَقَى) dapat dilihat antara lain dalam QS. Al-Insân : 11, Ad-Dukhân : 56, dan Ath-Thûr: 28. Penggunaan bentuk ittaqâ(اِتَّقَى) dapat dilihat antara lain di dalam QS. Al-A‘râf: 96. Kata taqwâ (تَقْوَى) juga bersinonim dengan kata khaûf (خَوْف) dan khasyyah (خَشْيَة) yang berarti “takut”. Bahkan, kata ini mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata taat. Kata taqwâ yang dihubungkan dengan kata thâ‘ah (طَاعَة) dan khasyyah (خَشْيَة) digunakan al-Quran dalam QS. An-Nûr : 52 ( http: //rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html).
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu:
ü  Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah : 231 dan Asy-Syu‘arâ’ : 131
ü  Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-Baqarah : 24 dan آli ‘Imrân : 131; 
ü  Siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfâl: 25; 
ü  Obyeknya berupa kata-kata rabbakum (رَبَّكُمْ), al-ladzî khalaqakum (الَّذِيْ خَلَقَكُمْ), dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj : 1. (http://rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html )
Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertakwa pada umumnya (sebanyak 82 kali) obyeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya bukan Allah melainkan neraka, hari kemudian, dan siksaan (Wajidi Sayadi, 2009 :64). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai takwa di dalam Al-Quran pada dasarnya yang dimaksudkan adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan bahwa orang-orang yang akan terhindar dari api neraka dan siksaan hari kemudian nanti adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt.
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam bentuk mashdar, ditemukan di dalam al-Quran sebanyak 19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqât (تُقَاة) sebanyak 2 kali dan dalam bentuk taqwâ (تَقْوَى) sebanyak 17 kali. Dalam bentuk ini kata taqwâ pada umumnya digunakan al-Quran untuk:
ü  menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt, seperti dalam QS. Al-Hajj: 37; dan 
ü  menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan akhirat. (http://rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html )
Secara terminologi takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak (Wajidi Sayadi, 2009 : 65).
Takwa sebagai upaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya hanya dapat terwujud oleh dorongan harapan memperoleh kenikmatan surgawi serta rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Karenanya, sebagian ulama menggambarkan takwa sebagai gabungan di antara harapan dan rasa takut, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad dalam bukunya Fathul Qawiyyil Matin, bahwa Takwa bermakna seseorang membuat pelindung yang melindungi dirinya dari hal yang ia takuti. Contoh : Memakai sandal atau sepatu sebagai pelindung dari bahaya yang ada di tanah. Atau membangun rumah atau kemah untuk berlindung dari panas matahari.
Ketika seseorang berbuat buruk, maka dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat termasuk al hasanah, yakni perbuatan yang baik. Maka jika berbuat dosa, maka kita mengikutinya dengan perbuatan yang baik, yakni bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Maka taubat akan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan, baik dosa besar apalagi dosa kecil. Dan termasuk al hasanah, perbuatan baik dalam hadits di atas adalah perbuatan baik secara umum. Perbuatan baik akan menghapus dosa-dosa kecil saja. Sedangkan dosa besar harus dengan taubat untuk menghapusnya (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 69).
Adapun upaya untuk memelihara diri, takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas, sebagaimana yang ditegaskan Nabi SAW dalam hadis tersebut, yang merangkaikan perintah takwa dan bermoral. Namun pada kenyataannya masyarakat saat ini banyak yang lebih mengedepankan rasio dan akal saja dan melalaikan moralitas dan akhlak. Sehingga banyak ditemui krisis akhlak dan kepemimpinan.
Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat ditekankan secara tegas adalah penegakan akhlak. Islam dihormati dan disegani termasuk oleh musuh adalah karena penampilan akhlak. Bahkan ada sesuatu yang sebenarnya secara hokum dibenarkan dilakukan, tapi dari segi pandangan etika dan moral belum tentu, misalnya ketika melaksanakan sholat, yang wajib ditutupi bagi laki-laki adalah sebatas auratnya saja, yaitu dari bagian pusat kebawah, kalau batasan-batasan ini sudah tertutupi, maka secara hokum shalatnya sudah sah, tetapi secara etika dan moral masih dipertimbangkan. Karena rasanya tidak etis menghadap dan bermunajat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi badan tidak tertutupi dan hamper telanjang (Wajidi Sayadi, 2009 : 66).
Untuk itu, jelas di dalam ajaran agama Islam, penegakan moral sangat penting dikedepankan dalam segala aspek kehidupan baik bagi diri sendiri, masyarakat maupun bangsa dan Negara. Hal inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT dengan tujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak.
3. Hikmah Yang Dapat diambil dari Pesan Nabi Kepada Abu Dzar
Adapun hikmah yang dapat diambil dari pesan Rasullullah kepada sahabt Abu Dzar ini adalah :
ü  Perhatian yang besart dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
ü  Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
ü  Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ
“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik”.
Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2009 ).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak. Takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas,  ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya
Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya dengan melihat keshalehannya dalam beribadah saja namun juga dilihat dari keshalehan social kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berupa etika social dan tanggung jawab social kemanusiaan yanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2000
Al-Basya, Abdurrahman Rafa’at,  Sosok Para Sahabat Nabi, Jakarta : Qisthi, 2005
Al ‘Abbad , ‘Abdul Muhsin, Fathul Qawiyyil Matin, Jakarta : Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibnu ‘Affan, 2003
Al-Utsaimin, Muhammad,  Syarah Arbain An Nawawiyah, Bandung : Pustaka Ibnu Katsir, 2009
Sayadi, Wajidi, Hadis Tarbawi (pesan-pesan Nabi Saw tentang pendidikan), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009

DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYAH DI ANDALUSIA



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Perkembangan pendidikan semakin hari semakin maju hal itu tidak terlepas dari sejarah pendidikan di masa lalu. Jadi  peranan kita sangat penting untuk mempelajari sejarah pendidikan  apalagi kita sebagai generasi penerus jangan sampai melupakan sejarah.  Kita sebagai orang Islam dan menuntut ilmu di Kampus Islam tentunya harus paham akan sejarah pendidikan  di masa lalu. Hal ini perlu agar kita mampu menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi.
Sejarah Pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution merincikan Sejarah Islam ke dalam lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang). Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan tentang Dinamika Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayah Di Andalusia (Spanyol).

2.      Batasan Makalah
a)      Sejarah Singkat Islam Masuk Ke Andalusia
b)      Pola Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayah Di Andalusia
c)      Faktor Pendukung Kemajuan Pendidikan Di Andalusia

B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Singkat Islam Masuk Ke Andalusia
Pada periode klasik paruh pertama masa kemajuan ( 650-1000 M), wilayah kekuasaan Islam meluas melalui Afrika Utara ( Aljazair dan Maroko) sampai ke Spanyol di Barat. (Harun Nasution, 1975: 12) Spanyol adalah nama baru dari Andalusia zaman dahulu. Nama Andalusia berasal dari suku ( Vendalus ) yang menaklukkan Eropa Barat dimasa lalu sebelum bangsa Goth dan Arab (Islam) ( Ensiklopedi Islam, 1999: 145).
Kondisi Andalusia pra kedatangan Islam sungguh sangat memprihatinkan, terutama ketika masa pemerintahan raja Ghotic yang melaksanakan pemerintahannya dengan besi. Kondisi ini menyebabkan rakyat Andalusia menderita dan tertekan. Mereka sangat merindukan datangnya kekuatan ratu adil sebagai sebuah kekuatan yang mampu mengeluarkan mereka saat itu, kerinduan mereka akhirnya menemukan momentumnya ketika kedatangan Islam di Andalusia.
Ketika Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al- Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ) (naik takhta 86 H 1705 M ), khalifah keenam. la menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara Pada masa kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika sebagian barat dapat di kuasai kecuali Sabtah (Ceuta ) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.
Penaklukan Islam di Andalusia  tidak terlepas dari kepiawaian tiga heroic Islam, yaitu Tharif Ibn Malik, Thariq bin Ziyad, Musa bin Nushair. Perluasan bani umayyah ke Andalusia  diawali oleh rintisan Tharif ibn Malik yang berhasil menguasai ujung paling selatan eropa, upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang berhasil menguasai ibu kota Andalusia, Toledo. Kemudian ia juga menguasai Archidona, Elfiro dan Cordova. Bahkan raja Roderick (raja terakhir Vichigothic) berhasil ia kalahkan pada tahun 711 M
Keberhasilan Thariq dalam melumpuhkan penguasa di Andalusia dalam sejarah Islam dicatat sebagai acuan resmi penaklukan Andalusia oleh Islam. Kemudian ekspansi ini dilanjutkan pada waktu yang sama oleh Musa bin Nushair yang akhirnya mampu menguasai Andalusia bagian barat yang belum dilalui oleh Thariq, tanpa memperoleh perlawanan yang berarti. Keberhasilan ekspansi ini akhirnya bermuara dengan dikuasainya seluruh wilayah Andalusia ke tangan Islam. Pada saat itu kekhalifahan dinasti umayyah pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik hanya menjadikan daerah Andalusia sebagai sebuah keamiran saja. Ia menunjuk Musa bin Nushair sebagai amir di sana yang berkedudukan di Afrika Utara. Ketika dinasti umayyah di damaskus runtuh, perkembangan Andalusia kemudian dipegang oleh seorang pangeran umayyah Abdurrahman Ibn Mu’awiyah ibn Hisyam yang berhasil lolos dari buruan bani abbas. Tokoh inilah yang kemudian berhasil mendirikan kembali daulah bani umayyah di Andalusia.
Islam masuk ke Spanyol (Cordova) pada tahun 93 H (711 M) dibawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia dengan membawa 7000 orang pasukan. Dengan kekuatan tambahan, Thariq yang mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711  berhadapan dengan pasukan Raja  Roderick di mulut Sungai Barbate dipesisir laguna janda dan berhasil mengalahkan tentara Gotik yang merupakan kemenangan penting untuk memudahkan pasukan muslim melintasi dan penaklukan kota-kota Spanyol lainnya tanpa mengalami perlawanan berarti.


2.      Pola Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayah Di Andalusia
Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran peradaban dan kebudayaan yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyebrangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad XII. Minat terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan serta filsafat mulai dikembangkan pada abad IX M selama pemerintahan penguasa Bani Umayah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman (832-886 M). (Majid Fahri, 86:35).
Adapun pola pendidikan Islam di Andalusia secara garis besar adalah sebagai berikut (Abuddin Nata, 2004:263) :
a)      Kuttab
Umat muslim Andalusia telah menoreh catatan sejarah yang mengagumkan dalam bidang intelektual, banyak perestasi yang mereka peroleh khususnya perkembangan pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan pendidikan. Menurut Abuddin Nata, di Andalusia menyebar lembaga pendidikan yang dinamakan Kuttab. Kuttab termasuk lembaga pendidikan terendah yang sudah tertata dengan rapi dan para siswa mempelajari berabagai macam disiplin Ilmu Pengetahuan diantaranya Fiqih, Bahasa dan sastra, serta music dan kesenian :
1)      Fiqih
Dalam bidang fiqih, karena Spanyol Islam menganut mazhab Maliki, maka para ulama memperkenalkan materi-materi fiqih dari mazhab Imam Maliki. Para Ulama yang memperkenalkan mazhab ini adalah Ziyad ibn Abd Al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya adalah Abu bakar idn Al-Quthiyah, Munzir ibn Said Al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal. (Badri Yatim, 2010:103)
2)      Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa resmi dan bahasa administrasi dalam pemerintah Islam di Andalusia. Bahasa Arab ini diajarkan kepada murid-murid dan para pelajar, baik yang Islam maupun non-Islam. Dan hal ini dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mereka rela menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, sehingga mereka terampil dalam berbicara maupun dalam tatabahasa. Di antara ahli bahasa tersebut yang termasyhur ialah Ibnu Malik pengarang kitab Alfiah, Ibn Sayyidih, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajjjj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Garnathi. ( Abuddin Nata, 2004:264)
Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti Al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abidin Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Basam, kitab al-Qalaid buah karya Al-Fath Ibn Khaqan dan banyak lagi yang lainnya. ( Badri Yatim, 2010:103)
3)      Musik dan Kesenian
Sya’ir merupakan ekspresi utama dari peradaban Andalusia. Pada dasarnya sya’ir mereka didasarkan pada model-model sya’ir Arab yang membangkitkan sentiment prajurit dan interes faksional para penakluk Arab. ( Abuddin Nata, 2004:264-265)
Dalam bidang musik dan suara, Islam di Andalusia mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Ia selalu tampil mempertunjukan kebolehannya. Kepiawaiannya bermusik dan seni membuat ia menjadi orang termasyhur dikala itu, ilmu yang dimilikinya diajarkan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dan juga kepada para budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas. (Ahmad Syalabi, 1979:88)
b)     Pendidikan Tinggi
Masarakat Arab yang berada di Andalusia merupakan pelopor peradaban dan kebudayaan juga pendidikan, antara pertengahan abad kedelapan sampai dengan akhir abad ketigabelas. Melalui usaha yang mereka lakukan, ilmu pengetahuan kuno dan ilmu pengetahuan Islam dapat ditransmisikan ke Eropa. Bani Umayah yang berada dibawah kekuasaan Al-Hakam menyelenggarakan pengajaran dan telah memberikan banyak sekali penghargaan terhadap para sarjana. Ia telah membangun Universitas Cordova berdampingan dengan Masji Abdurrahman III yang selanjutnya tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal diantara jajaran lembaga pendidikan tinggi lainnya didunia. Universitas Coedova menandingi dua Universitas lainnya yaitu Al-Azhar di Cairo dan Nizhamiyah di Bagdhad, dan telah menarik perhatian para pelajar tidak hanya dari Spanyol ( Andalusia), tetapi juga dari Negara-negara Eropa lainnya, Afrika dan Asia. ( Abuddin Nata, 2004:265)
Di antara para ulama yang bertugas di Universitas Cordova adalah Ibn Qutaibah yang dikenal sebagai ahli tata bahasa dan Abu Ali Qali yang dikenal sebagai pakar filologi. Universitas ini memiliki perpustakaan yang menampung koleksi sekitar Empat Juta buku. Universitas ini mencakup jurusan yang meliputi Astronomi, Matematika, Kedokteran, Teologi dan Hukum. Jumlah muridnya mencapai Seribu orang. Selain itu di Andalusia juga terdapat Universitas Sevilla, Malaga dan Granada yang didalamnya mengajarkan Mata Kuliyah Teologi, Hukum Islam, Kedokteran, Kimia, Filsafat dan Astronomi. (Philip K. Hitti, 1974:563)
1)      Filsafat
Atas inisiatif Al-Hakam (961-976), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaannya dan Universitas-Universitasnya mampu menyaingi Bagdhad sebagai pusat Utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani Umayah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya. (Abuddin Nata, 2004:266)
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abu bakr ibn Thufail. Karya filsafatnya yang paling terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan. (Badri Yatim, 2010:101)
Bagian akhir abad ke-12 menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar digelanggang filsafat Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova yang memiliki cirri khas yaitu kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah klasik tentang keserasian filsafat dalam agama. Dia juga ahli fiqih dengan karyanya yang termasyhur Bidayah al-Mujtahid. (Badri Yatim, 2010:101-102)
2)      Bidang Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, music, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas Ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. (Ahmad Syalabi, 1979:86) Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Tokoh terkenal dalam bidang kedokteran adalah Ibn Rusdy. Selain sebnagai filosof ia juga ahli kedokteran. Namun kemahirannya dalam filsafat membuat keahlian dalam kedokterannya tertutupi. Karya Monumentalnya dalam bidang ini adalah al-Kulliyat fi al-Thibb (generalitas dalam kedokteran).
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian Barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim di Mediterania Sicilia. Dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai samudra Pasai dan Cina. Ibn Al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains. ( Badri Yatim, 2010:268)

3.      Faktor Pendukung Kemajuan Pendidikan Di Andalusia
a)      Adanya dukungan dari para penguasa. Kemajuan Andalusia Islam sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu pengetahuan, juga memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para ilmuawan dan cendekiawan. ( Abuddin Nata, 2004:268)
b)      Didirikannya sekolah-sekolah dan universitas-universitas dibeberapa kota di Spanyol oleh Abd Al-Rahman III Al-Nashir, dengan universitasnya yang terkenal di Cordova. Serta dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi buku-buku yang cukup banyak. ( Abuddin Nata, 2004:268)
c)      Banyaknya para sarjana Islam yang dating dari ujung Timur sampai ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan bermacam gagasan. Ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam berbagai kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan Budaya Islam. ( Majid Fakhri:356)
d)     Adanya persaingan antara Abbasiyah di Bagdhad dan Umayah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizhamiyah di Bagdhad yang merupakan persaingan positif tidak selalu dalam bentuk peperangan. ( Abuddin Nata, 2004:267)
C.    KESIMPULAN
Islam masuk ke Andalusia pada tahun 93 H (711 M) dibawah pimpinan Tariq bin Ziyad. Ketika Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al- Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ). Kedatangan umat Islam ke Andalusia ini membawa perubahan besar terhadap peradaban di Andalusia, baik dari segi Politik maupun Intelektual.
Pola pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah di Andalusia ada dua lembaga pendidikan, yaitu : yang pertama lembaga pendidikan Kuttab ( lembaga pendidikan dasar ) yang biasanya dilakukan dirumah-rumah dan yang kedua lembaga pendidikan tinggi ( Universitas). Adapun universitas yang terbesar adalah universitas Cordova yang di bangun oleh Al-Hakam. Universitas ini sangat terkenal diantara jajaran lembaga pendidikan tinggi lainnya didunia. Universitas Coedova menandingi dua Universitas lainnya yaitu Al-Azhar di Cairo dan Nizhamiyah di Bagdhad, dan telah menarik perhatian para pelajar tidak hanya dari Spanyol ( Andalusia), tetapi juga dari Negara-negara Eropa lainnya, Afrika dan Asia.
kemajuan Intelektual di Andalusia ini tidak terlepas dari besarnya dukungan yang diberikan oleh para penguasa pada saat itu yang dipimpin oleh khalifah Islam. Kemajuan intelektual ini telah membawa dampak yang begitu besar terhadap peradaban di spanyol (Andalusia), yang menjadikannya unggul dan terkenal di seluruh penjuru dunia pada saat itu.
D.    DAFTAR PUSTAKA
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) Mulyadi Kartanegara dari judul asli Tarikh al-Falsafat al-Islamiyah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Hitty, Philip K, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1974
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1973
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2004
Syalaby, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (terj.) Muchtra Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Grafindo Persada, 2010