BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa). Yakni, bertakwa dalam kondisi apapun, di mana saja dan kapan saja. Dan perintah takwa dalam setiap kondisi itu diajarkan melalui mengiringi setiap keburukan dengan kebaikan karena kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa akibat keburukan, serta untuk berbuat kepada setiap manusia dengan akhlak yang baik.
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.
Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang pada posisi yang terhormat dan tinggi (Takwa ). Takwa akan memperbaiki hubungan antara hamba dan Allah, sedangkan berakhlak yang mulia memperbaiki hubungan antar sesama. Takwa pada Allah mendatangkan cinta Allah, sedangkan akhlak yang baik mendatangkan kecintaan manusia. Atas dasar itulah penulis memaparkan makalah ini yang berkenaan dengan Takwa dan Akhlak sebagai Tanggung Jawab Sosial.
B. BATASAN MASALAH
1. Hadis Tentang Akhlak & Takwa
2. Sumber Riwayat
3. Takhrijul Hadis
4. Asbab al-Wurud Hadis
5. Fiqhul Hadis
C. TUJUAN
1. Mengetahui hadis tentang takwa dan akhlak, serta terjemahannya
2. Mengetahui sumber riwayat hadis tersebut
3. Mengetahui tahkrijul hadis tersebut
4. Mengetahu sebab – sebab munculnya hadis tersebut
5. Mengetahui fiqhul hadis atau maksut dari hadis tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
TAKWA DAN AKHLAK : TANGGUNG JAWAB SOSIAL
1. Hadis dan Terjemahannya
عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ ﻟۑ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “ [رواه الترمذي]
Artinya :
“Diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasullullah Saw. berpesan kepadaku : Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Turmuzi).
2. Sumber Riwayat
Sumber riwayat hadist tersebut yang menyampaikan ke generasi berikutnya hingga diriwayatkan oleh imam Tirmidzi adalah Abu Dzar. Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah dan pedagang yang melewati padang pasir. (http://majlisdzikrullahpekojan /abu-dzar-al-ghifari.html, 2008)
Dalam buku Kisah Sosok Para Sahabat Nabi, Abdurrahman Rafa’at al-Basya, menceritakan bahwa Bani Ghifar adalah sebuah suku badui ditanah Arab yang terkenal akan keberaniannya dan sikap keras dalam pergaulan sehari hari. Sering sekali bani Ghifar melakukan perampokan-perampokan yang berujung pertumpahan darah. Mereka bermukim di lembah Waddan, sebuah daerah yang terletak antara Mekkah dan Syam. Lembah Waddan sering dilalui para saudagar dari Mekkah menuju Syam atau sebaliknya. Bila melalui daerah ini maka kaum saudagar harus extra hati-hati karena tak berapa lama lagi bani Ghifar akan menyergap dengan kebuasaan yang tiada tandingnya.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain. Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayah Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung- hitung resiko mengumumkan secara terang - terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan. (http://majlisdzikrullahpekojan /abu-dzar-al-ghifari.html, 2008)
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Abu Dzar masuk islam berawal ketika saudaranya bernama Anis al- Ghiffari pulang dari mekah dan kepada Abu Dzar, Anis menceritakan bahwa ia bertemu dengan seorang nabi yaitu Nabi Muhammad Saw. yang menyebarkan agama yang ajarannya sama seperti Abu Dzar selama ini yaitu mewajibkan orang-orang kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk dibagikan kepada fakir miskin. Menanggapi informasi yang disampaikan saudaranya itu, kemudian Abu Dzar pergi ke mekah menemui Nabi Saw. dan mengucapkan dua kalimat syahadat secara terang terangan di dekat ka’bah. Abu Dzar wafat di Rabdzah ( tempat Ia diasingkan akibat kritikannya terhadap bangunan gedung gubernur Muawiyah bin Abu sofyan) diluar kota madinah pada tahun 32 H dan jenazahnya sempat dishalatkan Ibnu Mas’ud. Dan Ibnu Mas’ud juga wafat sekitar 10 hari setelah wafat nya Abu Dzar.
Dalam buku Hadis Tarbawi, Wajidi Sayadi, menceritakan bahwa Abu Dzar dikenal dikalangan ahli hadis sebagai periwayat hadis. Ia telah meriwatkan 281 hadis, 31 halaman di antaranya di riwayatkan Bukhari dan muslim dan dikalangan sufi Abu Dzar dipandang sebagai perintis gaya hidup yang menghabiskan sepanjang hidupnya berpeluang untuk kaya dan bisa hidup mewah, namun tidak Ia lakukan. Dan dianggap sebagai pelopor system masyarakat sosialis.
3. Takhrijul Hadis
Hadis ini ditemui dalam kitab-kitab hadis hanya sebanyak 6 kali, yaitu satu diantaranya, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunannya pada hadis no. 1978. kemudian satu lagi diriwayatkan oleh Darimi dalam sunannya pada hadis no. 2791. Dan terahir imam Ahmad meriwayatkan sebanyak 4 kali dalam Musnadnya pada hadis no. 20847, 20894, 21554, dan 21026. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja, sebab pesan nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi, 2009 : 61). Dan hanya ada satu teks matan hadis yang susunan redaksinya berbeda, tapi maksudnya sama saja yang juga diriwayatkan ahmad, yaitu :
“Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan bergaulah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik. Dan bila enkau telah berbuat kejahatan, maka berbuatlah kebaikan, niscaya Ia akan menghapusnya. “(HR. Ahmad)
4. Asbab al-Wurud Hadis
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut diatas yaitu ketika Abu Dzar menyatakan keislamannya dimekah, Rasullullah SAW. bersabda kepadanya : “Kebenaran bagi kaummu dengan harapan semoga Allah memberi manfaat kepada mereka” ( Wajidi Sayadi, 2009 : 61 ).
Kemudian Rasullullah mengajarinya ad-din (agama) Islam dan membacakannya Al-Qur’an. Rasullullah SAW juga berpesan, “ Janganlah sekali-kali berterang-terangan tentang Islam di kota Mekkah ini. Aku khawatir orang-orang akan membunuhmu “. Namun, karena tekad Abu Dzar yang begitu kuat sehinnga ia pergi ketengah-tengah orang Quraisy dan mengumukan keIslamannya, saat itu juga ia dihajar dan dikeroyok oleh orang-orang Quraisy yang berada ditempat tersebut. Sapai pada akhirnya Abu Dzar diselamatkan oleh seruan Abbas Bin Abdul Muthalib kepada orang Quraisy “Celakalah kalian ! kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padalah kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar ?”. Mendengar kejadian tersebut Rasullullahpun khawatir dan menyuruh Abu Dzar kembali keperkampungannya ( Abdurrahman Rafa’at al-Basya, 2005 : 37-38).
Namun ketika beliau melihat betapa Abu Dzar sangat berkeinginan tinggal bersamanya dimekkah, Rasullullah SAW. memberitahukan ketidak mungkinannya, dan beliau berpesan: “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“(Wajidi Sayadi, 2009 : 61)
5. Fiqhul Hadis
1) Makna Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ini di temui dalam kitab-kitab hadis hanya enam kali, yaitu dalam kitab sunan at-Tirmidzi dan sunan d-Darimi masing-masing sekali, dan 4 kali dalam Musnad Ahmad. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi, 2009 : 62). Hal ini dikarenakan Nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja. Oleh karena itu, dilihat dari segi historis social latar belakang lahirnya hadis tersebut di atas, Nabi SAW menyabdakannya terkait dengan konteks perilaku dan sikap Abu Dzar sebagai seorang aktifis pemberdayaan sosial yang banyak bergelut memperjuangkan nasib orang-orang lemah, dia ingin sekali tinggal di mekah bersama dengan nabi SAW.
Pesan Nabi SAW kepada Abu Dzar ini dapat kita pahami bahwa keislaman dan kecintaan kepada allah dan rasullullaa itu tidak mesti harus di mekah dan bersama dengan nabi SAW. akan tetapi, dimanapun kita berada keislaman dan ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya. Oleh karena itu, muatan dan pesan utama sesungguhnya yang bisa ditangkap dari teks hadis diatas adalah takwa yang diwujudkan dalam etika social dan tanggung jawab social tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga dan itulah sebabnya Nabi SAW. mempertegas hadis selanjutnya dengan mengatakan dimana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan jahat itu dengan kebaikan dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Penegasan ini berkaitan dengan urusan dan tangggung jawab sosial kemanusiaan dalam kehidupan lebih luas dan nyata.
Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)
Perintah dan larangan Allah dapat dikategorikan dalam dua kelompok (Wajidi Sayadi, 2009 ; 64), yaitu pertama Perintah dan larangan yang berkaitan dengan alam raya, yang disebut hukum-hukum alam, seperti dinyatakan dalam QS. Fushshilat : 11:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, kami datang dengan suka hati” (QS. Fushshilat : 11).
Misalnya api membakar atau bulan berputar mengelilingi bumi; dan kedua, Perintah dan larangan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah melakukan shalat yang dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ’ : 78:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu dilaksanakan oleh malaikat” ( QS. Al-Isra’ : 78).
Kumpulan dari perintah dan larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat. Sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum alam akan diperoleh di dunia, sedangkan sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat akan diperoleh di akhirat. Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi duniawi dan sisi ukhrawi. Sisi duniawi yaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan dan melaksanakan hukum-hukum syariat.
Dalam bukunya Hadis Tarbawi , Wajidi Sayadi telah menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi SAW. yang memuat tema perintah bertakwa kepada Allah SWT selalu dalam konteks yang sebagian besar mengenai masalah social kemanusiaan bahkan termasuk sikap kasih sayang kepada binatang, seperti larangan menghina atau menyakiti,perintah bergaul dengan orang lain secara baik dan sopan ( maksutnya memelihara etika social ), memberikan sedekah (bantuan) walau sebutir kurma, memberi maaf, memberi upah kerja, bersikap adil terhadap anak-anak dan baik terhadap istri/suami dalam membina rumah tangga, bersikap baik terhadap perempuan, jujur, sabar, setia kepada pemimpin, adil sebagai pemimpin dan lain-lain.
Takwa pada dasarnya memiliki karakteristik yang semuanya berkaitan dengan etika social dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana firman ALLah SWT. :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-imran : 133-134)
Dari ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa yang dimaksut dengan muttaqin ( orang bertakwa ) adalah mereka yang membelanjakan sebagian hartanya dalam kondisi lapang dan sempit, yang mampu menahan gejolak amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain.
Sabda Rasullullah SAW dalam hadisnya yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik yang berbunyi :
“ Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisan itu”.
Dari hadis ini Rasullullah SAW menjelaskan bahwa jika dalam urusan ibadah bersamaan dengan urusan social yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan namun bukan ditinggalkan.
2) Pengertian Takwa
Secara etimologis kata takwa merupakan bentuk masdar dari kata ittaqâ–yattaqiy (اتَّقَى- يَتَّقِىْ), yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Sementara pakar berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata taqwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam al-Quran, misalnya pada QS. Al-Mu’min : 45 dan Ath-Thûr : 27. Kata ini berasal dari kata waqâ–yaqi–wiqayah (وَقَى- يَقِى- وِقَايَة), yang berarti “menjaga diri, menghindari, dan menjauhi”, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan. Penggunaan bentuk kata kerja waqâ (وَقَى) dapat dilihat antara lain dalam QS. Al-Insân : 11, Ad-Dukhân : 56, dan Ath-Thûr: 28. Penggunaan bentuk ittaqâ(اِتَّقَى) dapat dilihat antara lain di dalam QS. Al-A‘râf: 96. Kata taqwâ (تَقْوَى) juga bersinonim dengan kata khaûf (خَوْف) dan khasyyah (خَشْيَة) yang berarti “takut”. Bahkan, kata ini mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata taat. Kata taqwâ yang dihubungkan dengan kata thâ‘ah (طَاعَة) dan khasyyah (خَشْيَة) digunakan al-Quran dalam QS. An-Nûr : 52 ( http: //rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html).
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu:
ü Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah : 231 dan Asy-Syu‘arâ’ : 131
ü Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-Baqarah : 24 dan آli ‘Imrân : 131;
ü Siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfâl: 25;
ü Obyeknya berupa kata-kata rabbakum (رَبَّكُمْ), al-ladzî khalaqakum (الَّذِيْ خَلَقَكُمْ), dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj : 1. (http://rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html )
Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertakwa pada umumnya (sebanyak 82 kali) obyeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya bukan Allah melainkan neraka, hari kemudian, dan siksaan (Wajidi Sayadi, 2009 :64). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai takwa di dalam Al-Quran pada dasarnya yang dimaksudkan adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan bahwa orang-orang yang akan terhindar dari api neraka dan siksaan hari kemudian nanti adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt.
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam bentuk mashdar, ditemukan di dalam al-Quran sebanyak 19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqât (تُقَاة) sebanyak 2 kali dan dalam bentuk taqwâ (تَقْوَى) sebanyak 17 kali. Dalam bentuk ini kata taqwâ pada umumnya digunakan al-Quran untuk:
ü menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt, seperti dalam QS. Al-Hajj: 37; dan
ü menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan akhirat. (http://rumahislam.com/ensi/74-ensi-t/660-taqwa.html )
Secara terminologi takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak (Wajidi Sayadi, 2009 : 65).
Takwa sebagai upaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya hanya dapat terwujud oleh dorongan harapan memperoleh kenikmatan surgawi serta rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Karenanya, sebagian ulama menggambarkan takwa sebagai gabungan di antara harapan dan rasa takut, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad dalam bukunya Fathul Qawiyyil Matin, bahwa Takwa bermakna seseorang membuat pelindung yang melindungi dirinya dari hal yang ia takuti. Contoh : Memakai sandal atau sepatu sebagai pelindung dari bahaya yang ada di tanah. Atau membangun rumah atau kemah untuk berlindung dari panas matahari.
Ketika seseorang berbuat buruk, maka dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat termasuk al hasanah, yakni perbuatan yang baik. Maka jika berbuat dosa, maka kita mengikutinya dengan perbuatan yang baik, yakni bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Maka taubat akan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan, baik dosa besar apalagi dosa kecil. Dan termasuk al hasanah, perbuatan baik dalam hadits di atas adalah perbuatan baik secara umum. Perbuatan baik akan menghapus dosa-dosa kecil saja. Sedangkan dosa besar harus dengan taubat untuk menghapusnya (Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 69).
Adapun upaya untuk memelihara diri, takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas, sebagaimana yang ditegaskan Nabi SAW dalam hadis tersebut, yang merangkaikan perintah takwa dan bermoral. Namun pada kenyataannya masyarakat saat ini banyak yang lebih mengedepankan rasio dan akal saja dan melalaikan moralitas dan akhlak. Sehingga banyak ditemui krisis akhlak dan kepemimpinan.
Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat ditekankan secara tegas adalah penegakan akhlak. Islam dihormati dan disegani termasuk oleh musuh adalah karena penampilan akhlak. Bahkan ada sesuatu yang sebenarnya secara hokum dibenarkan dilakukan, tapi dari segi pandangan etika dan moral belum tentu, misalnya ketika melaksanakan sholat, yang wajib ditutupi bagi laki-laki adalah sebatas auratnya saja, yaitu dari bagian pusat kebawah, kalau batasan-batasan ini sudah tertutupi, maka secara hokum shalatnya sudah sah, tetapi secara etika dan moral masih dipertimbangkan. Karena rasanya tidak etis menghadap dan bermunajat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi badan tidak tertutupi dan hamper telanjang (Wajidi Sayadi, 2009 : 66).
Untuk itu, jelas di dalam ajaran agama Islam, penegakan moral sangat penting dikedepankan dalam segala aspek kehidupan baik bagi diri sendiri, masyarakat maupun bangsa dan Negara. Hal inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT dengan tujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak.
3. Hikmah Yang Dapat diambil dari Pesan Nabi Kepada Abu Dzar
Adapun hikmah yang dapat diambil dari pesan Rasullullah kepada sahabt Abu Dzar ini adalah :
ü Perhatian yang besart dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
ü Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
ü Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ
“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik”.
Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2009 ).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak. Takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas, ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya
Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya dengan melihat keshalehannya dalam beribadah saja namun juga dilihat dari keshalehan social kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berupa etika social dan tanggung jawab social kemanusiaan yanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2000
Al-Basya, Abdurrahman Rafa’at, Sosok Para Sahabat Nabi, Jakarta : Qisthi, 2005
Al ‘Abbad , ‘Abdul Muhsin, Fathul Qawiyyil Matin, Jakarta : Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibnu ‘Affan, 2003
Al-Utsaimin, Muhammad, Syarah Arbain An Nawawiyah, Bandung : Pustaka Ibnu Katsir, 2009
Sayadi, Wajidi, Hadis Tarbawi (pesan-pesan Nabi Saw tentang pendidikan), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009