TeTesan Tinta Seputih SaLju ...



blog ini sebagian besar berisi corat-coretku, makalah-makalah kuliyahku, tugas-tugas kuliyah, materi kuliyah, puisiku, & ade beberape lirik lagu n nasyid kesukaan ku ....... ***heheheheh****

Jumat, 06 Januari 2012

KALAM PERTAMA YANG KELUAR DARI LISAN NABI MUHAMMAD SAW

 Studi kritis terhadap tafsir makna keterangan teks ayat Al-Qur'an,,
yaitu pada keterangan teks kalam pertama
yang keluar dari lisan Rasullullah SAW.

 




A.    Latar Belakang
Kitab Al-Qur’an merupakan rekaman Al-Qur’an ( sesuatu yang abstrak yang keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW.) dalam bentuk teks yang ditulis dalam lembaran-lembaran kertas dan dijilid, yang selama ini di sebut sebagai kitab suci umat Islam yang dijadikan petunjuk dan pedoman hidup di dunia dan akhirat, sehingga kitab Al-Qur’an yang berupa tulisan-tulisan di atas lembaran-lembaran yang dijilit tersebut menjadi kewajiban untuk di baca bagi orang-orang yang beriman untuk di jadikan sebagi petunjuk agar selamat didunia dan akhirat. Hal ini di landaskan pada kalam yang pertama turun, yakni QS.al-‘Alaq, di mana ayat pertama berbunyi “Iqra’ “ yang artinya bacalah.
 Setidaknya, begitulah yang menjadi pemahaman banyak orang pada saat ini dan juga menurut pemahaman penulis selama ini. Hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang sebenarnya terkandung di dalam teks Al-Qur’an itu sendiri. Dimana telah jelas dijelaskan pada QS. al-isra’:14 bahwa kitab yang seharusnya dibaca adalah kitab yang ada pada diri kita pribadi yang hendaknya kita jadikan sebagai penghisab untuk diri kita masing-masing. Adapun kalam Al-Qur’an yang disampaikan oleh Muhammad Rasullullah SAW. merupakan petunjuk yang menunjukkan petunjuk sebenarnya, yaitu apa yang ada di dalam diri kita pribadi.
Pada kenyataannya, selama ini masih banyak yang belum mengetahui tentang hakikat makna yang sebenarnya terkandung mengenai Al-Qur’an, kitab dan apa yang seharusnya dibaca berdasarkan kalam yang pertama turun, yakni QS.al-‘Alaq ayat pertama. Oleh sebab hal itu, penulis dalam makalah ini ingin sedikit mencoba menilik makna atau tafsir yang terkandung dalam kalam yang pertama keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW. secara ontology berbasis hikmah. Adapun judul makalah ini adalah MENILIK KALAM PERTAMA YANG KELUAR DARI LISAN NABI MUHAMMAD SAW.
B.    Teks Kalam Yang Pertama Turun Dan Terjemahannya
Teks Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq : 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4} عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ {5}
Artinya : “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96:1-5)

C.   Tafsir Dan Makna Kalam Yang Pertama Turun Berdasarkan Tafsir Hikmah
a.      
Kata Al-Qur’an, sebagai mana dijelaskan oleh Dr. Syarif MA dalam bukunya yang berjudul Tafsir Tarbawi (Mengenal ontology agama berbasis hikmah), menunjuk pada makna kalam yang keluar dari mulutnya Nabi, yakni sesuatu yang abstrak yang keluar atau di ucapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, dalam makalah ini penulis mengkaji mengenai makna kalam yang pertama keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW, bukan kalam pertama yang turun, karena Al-Qur’an atau kalam yang sebenarnya tidak turun di gua hira (jabal nur) sebagai mana yang dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir saat ini, melainkan Nabi Muhammadlah yang turun dari gua hira (jabal nur), kemudian bergegas kembali kerumah dan menceritakan kepada istrinya Khadijah ra. (Dr. Syarif MA, 2011 :11-12), jelas pada saat inilah kalam pertama itu keluar atau diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Adapun kalam yang pertama keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW menurut kesepakatan bulat para ulama adalah yang terekam dalam bentuk teks yang transliterasinya dalah “Iqra’ bismi rabbika al-ladzi khalaq …”.  Jika rangkaian kalimat pada teks ini diartikan maka sebenarnya berbunyi : “baca dengan nama Tuhanmu yang mencipta”. Artinya, ada objek yang harus dibaca pada rekaman teks kalam tersebut, yaitu yang mesti dibaca ialah “yang dengan nama Tuhan”. Sehingga teks kalam tersebut tidak boleh diartikan “dengan menyebut nama Tuhan” oleh karena, pada teks tersebut tidak ada tambahan kata “qaul atau tilawat”, (Dr. Syarif MA, 2011 : 14).
Dengan demikian, makna kalam pertama sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, dalam kitab tafsirnya yang popular, Tafsir Al-Mishbah, bahwa Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membaca wahyu-wahyu ilahi, alam dan masyarakat dengan dan demi nama Tuhan yang memelihara dan menciptakan, supaya menjadi bekal diri Nabi dengan kekuatan pengetahuan, tidaklah pas untuk menafsirkan kalam pertama ini. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa, secara kaidah bahasa, apabila kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksut bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut (M. Quraish Shihab, 2002 :393), hal ini sangatlah tidak relavan oleh karena perintah itu tidak tersangkut oleh kaidah bahasa tetapi tersangkut dengan wujud benda atau objek yang harus dibaca (Dr. Syarif MA, 2011:15).
Sedangkan Sayyid Quthb (2002:305)  mengemukakan bahwa pada hakikatnya segmen pertama yang turun pada saat pertama terjadinya kontak antara Rasullullah SAW. dan alam tertinggi ini, maka diletakkanlah kaidah tasawwuf imani’ pandangan dan pola pikir yang berdasarkan iman yang besar dan luas. Semua urusan. gerak, langkah dan perbuatan dengan menyebut nama Allah dan atas nama Allah. Dengan nama Allah segala sesuatu dimulai dan berjalan. Kepada Allah segala sesuatu menuju dan kembali. Penafsiran ini lebih kepada penafsiran secara epistimologis dan benar adanya jika kalam pertama yang keluar dari lisan Nabi Muhammad “Iqra’ bismi rabbika al ladzi khalaqa“ diartikan seperti ini : “Bacalah, denagan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan …”, Apa yang di ungkapkan oleh Sayyid Quthb ini senada dengan apa yang di ungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dkk. yang mengemukakan bahwa makna atau tafsir kalam pertama itu sebagai berikut: “Wahai Muhammad mulailah membaca Al-Qur’an dengan menyebut nama Rabbmu, atau memohon pertolongannya, penciptaan segala sesuatu. Penciptaan adalah nikmat yang pertama. Dia menciptakan manusia dari ‘alaqah (darah beku)”. Dari kedua penafsiran ini hanya berdasarkan epistimologis secara umum yaitu dengan menambah-nambah kata untuk memuaskan pengetahuan (Dr. Syarif MA, 2011 : 16). 
Lebih lanjut Dr. Syarif mengemukakan secara ontologi bahwa objek yang harus dibaca pada rangkaian teks diatas adalah “bismi rabbika”. Jika tidak menggunakan keterangan teks lain, teks ini belum dapat secara jelas ditentukan objeknya. Namun setidaknya, keterangan ayat atau teks yang kedua jelas menyebut manusia dan jika timbul pertanyaan baru, “apa yang ada pada manusia itu yang harus di baca?”, maka dalam QS. al-Isra’:14
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا {14}
Artinya : "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisap terhadapmu". (QS. 17:14)
Dari ayat ini jelas bahwa kitab yang dimaksud dalam keterangan teks diatas adalah catatan yang tidak pernah diturunkan di atas kertas-qiethas, QS. al-An’am :7
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَآإِلاَّ سِحْرُُ مُّبِينُُ {7}
Artinya : “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata:"Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (QS. 6:7)
Pengenalan akan ontology kalam pertama dari QS. al-‘Alaq itu mengharuskan kita memahami makna al-rahman dan al-rahim pada rangkaian teks pertama dan kedua dalam QS. al-Fatihah (Dr. Syarif MA, 2011 : 15-16)
Jika insan yang menjadi objek yang harus dibaca pada kasus ayat pertama dari surat al-‘Alaq di atas, sesungguhnya untuk menemukan wujud kepercayaan Allah yang sedang berada di dalam diri insan itu. Itulah sesungguhnya bismi rabbika pada rangkaian kalam pertama itu harus dicari wujudnya, bukan ditambah-tambah kata untuk memuaskan ketitad tahuan (Dr. Syarif MA, 2011 : 16).













DAFTAR PUSTAKA


Quthb, Sayyid, 2002, TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN (dibawah naungan al-qur’an jilid XII), Jakarta : Gema Insani Press
Shihab, M. Quraish, 2002, TAFSIR AL-MISHBAH (pesan, kesan dan keserasian Al-qur’an), Jakarta : Lentera Hati
Syarif, 2011, TAFSIR TARBAWI (mengenal ontology agama berbasis hikmah), Pontianak : STAIN Pontianak Press
Zuhaili, Wahbah dkk, 2009, Buku Pintar Al-Qur’an (seven in one), Jakarta : Almahira

HUKUM MENGERJAKAN IBADAH HAJI DUA KALI (LEBIH DARI SATU KALI)


1.      DASAR WAJIBNYA IBADAH HAJI, QS. ALI-IMRAN : 96-97
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ {96} فِيهِ ءَايَاتُُ بَيِّنَاتُُ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {97}
Artinya : “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. 3:96-97)
2.      HUKUM MENGERJAKAN IBADAH HAJI DUA KALI (LEBIH DARI SATU KALI)
a.      Menurut Sayyid Sabiq Dalam Kitabnya FIKIH SUNAH
Sayyid Sabiq, mengemukakan dalam kitab Fikih Sunahnya, bahwa Diwajibkannya mengerjakan ibadah haji hanya satu kali seumur hidup, hal ini sebagaimana kesepakatan para ulama –ijma’- bahwa haji itu tidak wajib berulang kali. Lebih lanjut Sayyid Sabiq mengemukakan, kecuali bila seseorang bernadzar, maka ia wajib memenuhi nadzarnya itu. Jadi mengerjakan ibadah haji lebih dari satu kali merupakan tathawwu’ atau sunat (Sayyid Sabiq, 1978:39).
Hal ini dilandaskan pada hadis nabi, yang diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasullullahh saw. berpidato, sabdanya :
“Hai manusia! Allah telah mewajibkan haji atasmu, maka tunaikanlah.” Seorang laki-laki bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasullullah?” Rasulullah diam tidak menjawab sehingga orang itu mengulanginya yang ketiga kali. Lalu Nabi menjawab: Kalau aku katakana YA maka tentu akan wajib dan kalian semua tidak akan mampu…” (HR Al Bukhari dan Muslim)
b.      Hukum Mengerjakan Ibadah Haji Dua Kali atau Lebih Dalam Kitab Terjemah NAILUL AUTHAR
Dalam kitab terjemah NAILUL AUTHAR bab kitabul manasik pada hadis nomor 2308 dijelaskan bahwa melaksanakan perintah itu (mengerjakan ibadah haji) tidak harus berulang-ulang, yakni wajibnya hanya satu kali seumur hidup (Nailul Authar,2001:1358-1359).
Adapun hadisnya dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Rasullullah saw. berkhutbah dihadapan kami, ia bersabda: “Wahai Manusia, diwajibkan atas kamu sekalian ibadah haji”. Lalu Al-aqra’bin habis berdiri, ia bertanya: “apakah pada setiap tahun ya Rasullullah?” Maka Nabi menjawab: “Kalau aku menjawabnya, tentu wajib haji setiap tahun. Dan kalau wajib setiap tahun, tentu kamu tidak mengerjakannya. Dan memang kamu tidak mampu untuk mengerjakannya. Haji itu sekali (selama hidup), maka barang siapa menambah berarti sebagai satu amalan sunat.” (HR. Ahmad)
c.       Hukum Mengerjakan Ibadah Haji Dua Kali atau Lebih di paparkan Dalam Harian Tribun yang di kuti dari situs webnya http://www.tribunnews.com/2011/11/30/
Ketetapan perintah melakukan ibadah haji secara langsung ada dalam QS.3:97, ini pun dengan bahasa syarat ” …siapa yang mampu…”. Dalam sebuah hadits yang panjang riwayat Ahmad dan Nasai, Rasulullah telah berkata dalam pidato beliau: hai manusia, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah kamu kerjakan. Seorang sahabat bertanya: Apakah tiap tahun ya rasulullah ? Beliau tidak menjawab, dan yang bertanya itu mendesak sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah berkata: kalau jawab saya “ya”, sudah tentu menjadi wajib tiap-tiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya…” . Dengan dua dalil ini maka  hukum dasar haji memang adalah wajib, itupun dengan syarat bagi siapa yang mampu mampu ilmu, mental dan ekonomi. Dalam hadits ini tidak ditegaskan bahwa harus berhaji tiap tahun. Yang ada adalah ancaman bagi siapa yang mampu tetapi tidak berhaji, “ Barang siapa memliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menymaikannya ke baitul haram dan tidak menunaikan ibadah haji maka tidak mengapa baginya wafat sebagai orang Yahudi atau Nasrani”. ( HR. Attirmidzi).
Hukum haji mengulang secara tegas hukumnya tidak wajib, sebagian ulama menjatuhkan hukumnya sunnah (tathawwu). Sunnah suatu perbuatan yang tidak mesti dikerjakan namun memiliki nilai keutamaan. Proses pengerjaan haji mengulang harus melihat kondisi dan situasi serta perintah ajaran lainnya yang lebih utama dan penting. Yusuf Qardhawii -Fuqoha kontemporer Al-Azhar Mesir-  membuat rumusan Fiqih Prioritas, mana perbuatan keagamaan paling penting, penting, dan tidak terlalu penting. Dalam menanggapi hukum haji mengulang beliau mngatakan, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mafsadat, maka langkah yang terbaik yang harus ditempuh ialah agar orang yang sudah satu kali menunaikan ibadah haji  (ibadah haji wajin) dapat menahan diri, dan memberi kesempatan kepada kaum muslimien yang belum menunaikan ibadah haji wajib. Dengan demikian mereka akan mendapat dua manfaat besar. Pertama, sebagian dari harta kekayaanya yang banyak itu dimanfaatkan untuk amal ibadah dan kebajikan lainnya, seperti memperkuat dakwah Islam, membantu sekolah-sekolah muslim, dan lain-lain. Kedua, memberi kelonggaran tempat kepada kaum muslimien lainnya dari berbagai pelosok dunia yang belum pernah melaksanakan ibadah haji fardhu, agar pelaksanaannya tidak berjubelan dan desak-dseakan.
 Dengan demikiann memang ibadah haji mengulang itu penting, tetapi ada ibadah lain yang statusnya sangat penting. Jika dibandingkan antara dalil perintah melaksanakan  ibadah haji dengan perintah untuk membangun umat agar cerdas, bermoral baik dan membantu para kaum miskin, sangat jauh lebih banyak perintah untuk menegakan kebaikan dan membantu orang-orang lemah, cerdas serta berakhlak mulia.

REFERENSI
Al-Qur’an dan terjemahannya
Sabiq, Sayyid. 1978. FIKIH SUNAH Jilid 5. Bandung : Alma’arif
Terjemah NAILUL AUTHAR, Surabaya : Bina Ilmu, 2001

AKHLAK, PENGERTIAN DAN JENIS-JENISNYA



A.    SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
M. Sholohin dan Rosyid Anwar dalam bukunya yang berjudul AKHLAK TASAWUF (manusia, etika dan makna hidup) memaparka secara jelas mengenai sejarah singkat perkembangan ilmu akhlak. Beliau mengungkapkan bahwa berdasarkan Hadis, dikemukakan bahwa Rasulullah Saw diutus itu untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia. Dengan demikian baik di jazirah Arab maupun di dunia pada umumnya, telah ada budi pekerti yang mulia di samping sangat banyak budi pekerti yang tercela. Tidak dikenal pada bangsa Arab adanya ahli filsafat seperti pada bangsa Yunani. Adapun akhlak yang telah ada yang dianggap baik itu hanyalah akhlak pada pergaulan kepada manusia, itupun sangat sedikit dan tidak merata. Oleh karena itu dalam menyempurnakan akhlak bangsa Arab pada waktu itu Rasulullah Saw menekankan terutama tentang kepercayaan terhadap Allah Swt dan dikemukakan beberapa petunjuk tentang pokok-pokok akhlak dalam Islam. Misalnya Allah menyediakan kebahagiaan di dunia dan terutama di akhirat bagi setiap manusia yang taat pada peraturan-Nya. Hal ini dibuktikan dengan amal salih yang tentu saja didasari dengan iman, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Nahl  ayat 97 yang artinya, “Barangsiapa yang beramal shalih laki-laki dan perempuan dan disertai dengan iman, maka Allah memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Allah akan memberikan ganjaran untuk mereka sebaik-baik hal yang pernah mereka lakukan.”
Oleh karena itu dalam mempelajari sejarah pembahasan akhlak sebagai ilmu, hendaklah terlebih dahulu mengenal apa sebenarnya akhlak dalam Islam itu. Dengan demikian dalam penggaliannya selalu berdasarkan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bila tidak maka pemahamannya baik terhadap etika atau moral hasil penggalian manusia akan dianggap tidak cukup memuaskan, meskipun hasilnya mungkin bisa diterima, tetapi lepas dari tujuan kebahagian di akhirat nanti.
Akhlak sebagai suatu ilmu sebenarnya pembahasannya sudah sejak lama terjadi tetapi orang yang membukukan mengenai pertumbuhan dan perkembangan tentang ini barulah dimulai sejak Ahmad Amin dalam karyanya yang berjudul al-Akhlak dengan menggunakan pendekatan kebangsaan, religi dan periodisasi dan membaginya kepada pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, abad pertengahan, bangsa Arab, agama Islam dan zaman baru. Pembagian ini menurut pendekatan sejarah terkesan agak kurang sistematik. Karena itu di sini kita coba dengan menggunakan pendekatan keagamaan, dengan membagi kepada ilmu akhlak di luar agama Islam, dalam agama Islam dan ditambah dengan zaman modern.
1.       Ilmu Akhlak di Luar Agama Islam
Mempelajari sejarah akhlak bisa dimulai dari bangsa Yunani, dimana semula bangsa Yunani hanya menyelidiki keadaan alam, namun setelah datang Shopisticians (500-459 SM) yang menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka, timbullah pandangan mengenai pokok-pokok etika.
Kemudian datanglah Socrates (469-399 SM) dengan menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan akhlak, yaitu perbuatan mengenai kehidupan. Ia pernah dijuluki: menurunkan filsafat dari langit ke bumi. 
Setelah itu Plato, (427-347 SM), ia seorang ahli filsafat dari Athena murid Socrates. Dalam bukunya yang termasyhur yaitu “Republik”, meskipun penyelidikannya bercampur antara akhlak dengan filsafat, namun berpendapat bahwa dibelakang alam lahir ini ada alam lain, yaitu alam rohani. Ia mengemukakan contoh-contoh yang diantaranya untuk kebaikkan, misalnya arti Yang Mutlak adalah Ajally, kekal dan amat sempurna.
Selanjutnya Aristoteles (394-322 SM) seorang murid Plato, membangun suatu faham yang khas, dan pengikutnya dinamai dengan “Paripatetis”, memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena ia memberi pelajaran di tempat yang teduh. Dia berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki manusia adalah bahagia. Akan tetapi pengertian bahagia itu lebih luas dan lebih tinggi dari pada faham Utilitarisme dalam zaman baru sekarang ini. Aristoteles ini pencipta serba tengah. Bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara dua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah di antara kikir dan boros.
Pada akhir abad ketiga masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropah. Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang terdapat dalam Taurat dan Injil. Demikian pula tentang pelajaran bahwa Tuhan adalah sumber akhlak, karena arti sebenarnya akhlak itu sendiri adalah hendaknya berada di dalam keridlaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Perbedaan pandangan agama Nasrani dengan filsafat Yunani ialah da-lam apa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan. Menurut para filusuf Yunani pendorong itu adalah pengetahuan atau kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani, pendorong itu khususnya pendorong kepada kebaikan adalah cinta kepada Tuhan dengan iman.
Ahli-ahli filsafat akhlak pada abad pertengahan adalah Abelard seorang ahli filsafat dari Perancis (1079-1142 M) dan Thomas Aquinas yang berbangsa Italia. Mereka merupakan pemikir tentang paduan ajaran Yunani dengan ajaran Nashrani. Adapun bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam hanyalah memiliki ahli-ahli hikmah dan ahli-ahli sya’ir, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, mendorong menuju keutamaan dan menjauhkan diri dari kerendahan, yang terkenal pada zaman mereka. Perhatikanlah hikmah Lukman dan Aktsam bin Safi, sya’ir-sya’ir Zuahir bin Abi Sulma dan Hatim Al-Tai.
2.      Ilmu Akhlak di dalam Agama Islam
Kemudian datanglah agama Islam yang antara lain ajarannya adalah bahwa agama Islam mengajak supaya manusia percaya bahwa Allah-lah pencipta alam semasta ini, dan dari pada-Nya sumber dari segala sesuatu, dan dengan kekuasaan-Nya alam ini berdiri dengan teratur. Allah menetapkan beberapa keutamaan, seperti benar dan adil yang harus dilaksanakan, dan menjadikan kebahagian di dunia dan di akhirat sebagai pahala bagi orang yang mentaati-Nya. Allah menjadikan lawan keutamaan seperti dusta, dzalim, zina, mabuk, mencuri, membunuh, berjudi, minuman keras, yang kesemuanya ini harus dijauhi. Dan menjadikan kesengsaraan di dunia dan di akhirat sebagai hukuman bagi siapa saja yang melakukan lawan keutamaan tersebut.
Dalam ajaran Islam ini manusia diperintahkan untuk berbuat baik di dunia ini, menyiapkan diri untuk kembali ke kampung akhirat dan juga tidak begitu saja meninggalkan kesenangan dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77, yang artinya: “Dan carilah dengan rezeki yang diberikan Allah kepadamu untuk kebahagian dikampung akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu kemakmuran di dunia. Berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat binasa.”  
Dalam surat al-Nahl ayat 90 Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran, kedurhakan, dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengerti (mawas diri).”
Bangsa Arab tidak banyak menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu, karena telah terasa puas mengambil akhlak dari agama, dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar baik dan buruk itu. Kemudian muncul di luar bangsa Arab yang beragama Islam, seperti Al-Ghazaly dengan bukunya Ihya ‘Ulumuddin, dan para penyelidik akhlak sebagai ilmu yang termasyhur, yaitu: Abu Nasr Al-Farabi, Abu Ali Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih. Mereka mencampur adukkan ajaran Plato dan ajaran Islam.
3.      Ilmu Akhlak di Zaman Modern
Pembahasan akhlak pada zaman ini dimulai dengan bangkitnya ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat di Eropa pada abad XV, menggeser kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos kepada peran akal pikiran yang lebih besar, hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal. Pun termasuk pada persoalan akhlak. Kedermawanan misalnya, yang pada abad pertengahan dianggap mempunyai nilai yang tinggi pada zaman ini tidak lagi, bahkan merubah pola akhlak kepada kemandirian, sehingga akibat dari ini menimbulkan sifat individualistik, mandiri dan inovatif. Di antara tokoh yang lahir pada abad ini adalah Rene Descartes, Shafebury dan Hatshon, Bentham, John Stuart Mill Kant dan Bertrand Russel.

B.     PENGERTIAN AKHLAK DAN ILMU AKHLAK
a.      Pengertian Akhlaq
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab khuluq yang jamaknya akhlaq. Menurut bahasa akhlak adalah perangai, tabiat dan agama. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalq yang berarti “kejadian”, serta erat hubungannya dengan kata khaliq yang berarti “Pencipta” dan makhluq yang berarti “yang diciptakan”(Rosihon Anwar, 2010 : 11).
Berkaitan dengan pengertian khuluq yang berarti agama, lebih lanjut Rosihon Anwar menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Akhlak Tasawuf bahwa Al-fairuzzabadi berkata, “Ketahuilah, agama pada dasarnya adalah akhlak. Barang siapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanyapun mulia. Agama diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu kesabaran, memelihara diri, keberanian dan keadilan.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlaq diartikan sebagai budi pekerti, watak atau tabiat (W.J.S. Poerwadarminta, 1985:25).
Kata akhlaq lebih luas artinya daripada moral atau etika yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia sebab akhlaq meliputi segi-segi kejiwaan dari tingkah laku lahiriah dan batiniah seseorang. M. Sholihin dan Rosyid Anwar dalam bukunya Akhlak Tasawuf mengemukakan bahwa akhlak adalah perbuatan yang di sengaja. Jika tidak disengaja atau dilakukan karena terpaksa, maka perbuatan tersebut bukanlah gejala akhlaq (M. Sholihin & Rosyid Anwar, 2005:21).
Adapun akhlaq menurut beberapa ulama akhlaq adalah sebagai berikut :
1.      Menurut Imam Al-Ghazali (1011-1111 M) dalam Ihya Ulumuddin menyatakan :
“Akhlaq adalah daya kekuatan (sifat) yang tertanam dalam jiwa yang mendorong perbuatan-perbuatan yang spontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.”
Jadi, akhlaq merupakan sikap yang melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan.
2.      Menurut Ibnu Maskawaih (941-1030 M) mengemukakan bahwa :
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiatnya aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlaq.”
3.      Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi (1165-1240 m) mengemukakan bahwa:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebi dahulu. Keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan, dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan dan perjuangan.”
Berdasarkan pengertian akhlaq dari beberapa ulama di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa tingkah laku merupakan bentuk kepribadian seseorang tanpa dibuat-buat atau spontan tanpa ada dorongan dari luar. Jika baik menurut pandangan akal dan agama, tindakan spontan itu dinamakan akhlaq yang baik (al-akhlaqul karimah), sebaliknya jika tindakan sponyan ituburuk disebut akhlaq yang buruk (al-akhlaqul madzmumah (Rosihon Anwar, 2010 : 150).
b.      Pengertian Ilmu Akhlaq
Adapun tentang pengertian Ilmu Akhlaq, berikut ini beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar (M. Syatori, 1993:12 ):
1.      Al-Ghazali mengemukakan bahwa Ilmu Akhlaq adalah ilmu menuju jalan ke akhirat yang dapat disebut ilmu sifat hati dan ilmu rahasia.
2.      Ahmad Amin mengemukakan bahawa Ilmu Akhlaq adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada sesamanya, menjelaskan tujuan manusia melakukan sesuatu dan menjelaskan apa yang harus dibuat.
3.      R. Jolivet, mengemukakan bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas hal-hal yang wajib dan patut bagi manusia hingga persoalan-persoalan yang di larang.
4.      G. Gusdorof mengemukakan bahwa Ilmu Akhlaq adalah jalan untuk menentukan suatu kebaikan hingga menerangkan keadaan dalam kehidupan sehari-hari.

C.    MACAM – MACAM AKHLAK
Berdasarkan sifatnya, akhlak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terpuji (akhlak mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah). Adapun penjelasan dan macam-macam akhlak terpuji dan akhlak tercela adalah sebagai berikut:
a.      Akhlak Terpuji (akhlak mahmudah)
Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab, akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlak karimah (akhlak mulia), atau makarim al-akhlaq (akhlaq mulia), atau akhlaq al-munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya) (Rosihon Anwar, 2010 : 87).
Adapun pengertian dan penjelasan akhlak terpuji menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :
1.      Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT. sehingga mempelajari dan mengamalkannya merupakan kewajiban individual setiap muslim (Al-Ghazali, t.t : 21)
2.      Menurut Ibnu Qayyim, pangkal akhlak terpuji adalah ketundukan dan keinginan yang tinggi. Sifat-sifat terpuji, menurutnya berpangkal dari kedua hal itu. Ia memberikan gambaran tentang bumi yang tunduk pada ketentuan Allah WST. Ketika air turun menimpanya, bumi merespons dengan kesuburan dan menumbuhkan tanam-tanaman yang indah . Demikian pula manusia tatkala diliputi rasa ketundukan kepada Allah SWT. ia akan meresponsnya dengan sifat-sifat terpuji (Rosihon Anwar, 2010 : 88)
3.      Menurut Abu Dawud, akhlak terpuji merupakan perbuatan-perbuatan yang disenangi, sedangkan akhlak tercela adalah perbuatan-perbuatan yang harus dihindari.
Adapun macam-macam akhlak terpuji menurut Rosyid Anwar dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1.      Akhlak Terhadap Allah SWT
1)      Menauhidkan Allah SWT
Yaitu pengakuan bahwa Allah SWT satu-satunya yang memiliki sifat rubbubiyah (Allallah yang mencipta, memiliki, mengatur, memberi, mengkehendaki dll) dan uluhiyyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah), serta kesempurnaan nama dan sifat-Nya.
Firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar :2-3
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ {2}
Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran.Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. (QS. 39:2)
2)      Berbaik Sangka (Husnu zhann)
Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara cirri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-sungguh kepadanya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal, melainkan dia berbaik sangkaterhadap Rabbnya.” (HR. Muslim)
3)      Zikrullah
Mengingat Allah (Zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT. karena pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada sitiap saat dan tempat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Albaqarah : 152
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. 2:152)
4)      Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hokum dan ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT.
Dasar Akhlak terpuji berupa tawakal adalah sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali-Imran :159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. 3:159)
2.      Akhlak terhadap Diri Sendiri
1)      Sabar
Sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridhoan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah swt. terhadapnya. Sabar terbagi menjadi tiga, yakni sabar dari maksiat (bersabar diri untuk tidak melakukan hal yang dilarang agama), sabar karena taat kepada Allah swt (sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya) dan sabar karena musibah yakni ketika ditimpa kemalangan, ujian serta cobaan dari Allah, sebagai mana firmannya dalam QS. Al-baqarah : 155-157
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:"Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 2:155-157)
2)      Syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah swt dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah swt adalah dengan jalan mempergunakan nikmat tersebut dengan sebaik-baiknya.
Apabila kita sudah mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT berarti kita telah berskukur kepada-Nya sebagai pencipta. Semakin banyak kita bersyukur, maka semakin banyak pula nikmmat yang akan kita terima. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ibrahim : 7 “Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema'lumkan:"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. 14:7)
3)      Menunaikan Amanah
Amanah secara bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan atau kejujuran. Amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia ataupun rugas kewajiban.
4)      Benar dan Jujur
Maksut akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Benar dalam perkataan adalah mengatakan yang sebenarnya, tidak mengada-ada dan tidak pula menyembunyikan. Benar dalam perbuatan adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan perintah agama.
5)      Menepati Janji
Dalam Islam, janji merupakan utang dan utang harus di bayar. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ : 34
“…Dan tepatilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’ : 34)
6)      Memelihara Kesucian Diri
Yaitu menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah dan memelihara kehormatan. Upaya memelihara kesucian diri hendaknya dilakukan setiap hari agar diri tetap berada dalam status kesucian.
3.      Akhlak Terhadap Keluarga
1)      Berbakti kepada Orang Tua
Berbakti kepada orang tua merupakan factor utama diterimanya doa seorang anak, juga merupakan amal shalih yang paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim. Salah satu keutamaan berbuat baik terhadap orang tua selain melaksanakan ketaatan atas perinta Allah SWT adalah menghapus dosa-dosa besar. Firman Allah dalam QS. An-nisa : 36 :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. 4:36)
2)      Bersikap baik kepada Saudara
Agama Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada sanak saudara atau kaum kerabat sesudah menunaikan kewajiban kepada Allah SWT. dan Ibu Bapak. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisaa : 36 di atas dan Sabda Nabi SAW :
“Berbuat baiklah kepada ibu bapakmu, saudaramu perempuan dan laki-laki. sesudah itu kerabat yang lebih dekat kemudian yang lebih dekat.” (HR. An-Nasa’i)
4.      Akhlak terhadap Masyarakat
1)      Berbuat Baik Terhadap Tetangga
Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita. Rasullullah SAW bersabada:
“Demi Allah, tidaklah beriman. Demi allah tidaklah beriman. Demi Allah tidaklah beriman”. kemudian beliau ditanya,’siapa wahai rasullullah:’. beliau menjawab “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejelekannya (kejahatannya)” (HR. Bukhari dan Muslim)
2)      Suka Menolong Orang Lain
Dalam hidup ini jarang sekali ada orang yang tidak memerlukan pertolongan orang lain. Ada kalanya karena sengsara dalam hidup, penderitaan batin atau kegelisahan jiwa, mendapat musibah dll. Oleh sebab itu, semua manusia baik kaya maupun miskin sangat memerlukan bantuan dari orang lain. Baik berupa material maupun immaterial.
5.      Akhlak Terhadap Lingkungan
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
b.         Akhlak Tercela (akhlaq madzmumah)
1.      Al-Nani’ah
Yaitu sifat egois, tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Oleh karenanya, dalam mengejar kepentingan pribadi, hendaknya memperhatikan kepentingan orang lain janganlah boros dan juga kikir, namun hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah. Perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Isra ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan janganlah pula engkau kembangkan seluas-luasnya, nanti engkau duduk tercela dan sengsara.”
2.      Al-Bukhlu
Yaitu kikir. Orang yang kikir, tidak mau membelanjakan hartanya, baik untuk dirinya, misalnya biar makan tidak baik dan bergizi, padahal uang ada, baik untuk kepentingan keluarganya, maupun untuk kepentingan orang banyak, yang merupakan zakat, infak atau sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah tersebut bagaikan petir di siang hari. Sifat kikir ini dapat mempersempit pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi). Kemudian orang yang kikir itu apabila hartanya telah berkumpul, ia merasa kaya dan tidak lagi memerlukan bantuan orang lain yang juga lupa kepada pemberinya. Allah berfirman dalam surat al-Lail ayat 8-10 yang artinya, “Tetapi orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup, dan mendustakan yang baik, akan kami mudahkan baginya (jalan) kesukaran.”
3.      Al-Butan
Yaitu suka berdusta. Berdusta adalah mengada-adakan sesuatu baik dengan ucapan, tulisan, maupun dengan isyarat, padahal sebenarnya tidak ada, mungkin untuk kepentingan dirinya atau membela orang lain, atau sengaja untuk menjatuhkan nama orang lain, apalagi lempar batu sembunyi tangan. Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 112 yang artinya, “Siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang lain yang tidak bersalah, sesungguhnya dia memikul kebohongan dan dosa yang jelas.”
4.      Khianat
Yaitu tidak menempati janji. Khianat ini lawan dari amanat, apabila amanat dapat melapangkan rezeki, maka khianat akan dapat menimbulkan kefakiran. Sifat khianat ini seringkali tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang membela orang yang khianat karena ia tidak mengetahuinya. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 107 yang artinya, “Dan janganlah engkau membela orang-orang yang khianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang khianat dan berdosa.”
5.      Al-Jubn
Yaitu pengecut. Orang pengecut penuh dengan rasa takut, yang menyebabkan dirinya menjadi hina, sebab sudah mundur sebelum dicoba, tidak berani berjalan untuk mendapatkan kemenangan. Ia selalu iri terhadap keuntungan atau hasil yang dicapai orang lain. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 72 dan 73 yang artinya, “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang lembek/pengecut kalau kamu ditimpa bahaya (dalam perjuangan), dia berkata, sesungguhnya Tuhan memberi karunia kepadaku karena aku tidak ikut beserta mereka. Dan kamu memperoleh karunia dari Tuhan (atas perjuanganmu), mereka tentu mengatakan, sebagai tidak ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan mereka, supaya aku turut mendapat kemenangan yang besar.”
6.      Al-Gibah
Yaitu menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah mengatakan keadaan orang lain dibelakangnya dengan celaan kepada orang-orang yang ada dimukanya, dengan tujuan untuk menjatuhkan nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang sebenarnya keburukan itu ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal itu merupakan fitnah. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian kecurigaan itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah mempergunjingkan orang satu sama lain.”
7.      Al-Hasad
Yaitu dengki. Dengki atau hasud suatu perbuatan kerusakan terhadap orang lain, kemungkinan timbul disebabkan ni’mat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar ni’mat orang lain itu terhapus. Dengki juga karena benci dan dendam atas kegagalan usaha dirinya, kemudian membuat cara-cara yang tidak diridlai Allah Swt. Allah berfirman dalam surat al-Falak ayat 1-5 yang artinya, “Katakanlah. Aku berlindung kepada Tuhan subuh, terhadap bahaya makhluk yang diciptakan-Nya, dan dari kegelapan ketika ia telah datang, dan dari bahaya hembusan dalam ikatan, dan dari bahaya dengki ketika ia mendengki.”
8.      Al-Ifsad
Yaitu berbuat kerusakan. Seringkali sifat perusak mendorong manusia dalam usaha mencapai kepentingan pribadinya dengan tidak memperhatikan akibatnya, misalnya merusak lingkungan baik sendiri-sendiri, maupun bersama-sama dengan orang lain. Dalam surat Asyu’ara ayat 151-152 Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu turuti perintah orang-orang yang melanggar batas. Yaitu orang-orang yang membuat kerusakan (bencana) di muka bumi, dan tidak mengadakan perbaikan.”
9.      Al-Israf
 Yaitu berlebih-lebihan. Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 31 yang artinya, “Hai anak-anak Adam, pakailah perhiasanmu setiap waktu shalat dan makan minumlah kamu, dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
   Masih banyak lagi akhlak tercela yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, misalnya: al-bagyu, yaitu lacut; al-gadab, yaitu pemarah; al-gurur, yaitu memperdayakan; al-hikdu, yaitu dendam; al-intihar, yaitu menjerumuskan diri; al-namimah, yaitu mengadu domba; dan lain sebagainya.
D.    HUBUNGAN ILMU AKHLAK DAN ILMU TASAWUF
Sebagian besar pembicaraan tasawuf berkaitan dengan pengetahuan tentang ketuhanan, tetapi tidak dengan jalan ilmu dan pembuktian ilmiah, tetapi dengan jalan penyaksian esoteric (al-syuhud al bathini). Yaitu bahwa hati manusia harus berfungsi bagaikan cermin yang bersih sehingga dapat menangkap hakikat dan menyingkap tirai. Denagn cara itu, hati seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asmaNya dan sifat-sifatnya.
Sehingga untuk mencapai tujuan ilmu tasawuf ini, ilmu akhlak dapat membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pintu gerbang ilmu tasawuf (Rosihon Anwar, 2010 : 42).



KESIMPULAN
            Kata akhlaq lebih luas artinya daripada moral atau etika yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia sebab akhlaq meliputi segi-segi kejiwaan dari tingkah laku lahiriah dan batiniah seseorang. Akhlak adalah perbuatan yang di sengaja. Jika tidak disengaja atau dilakukan karena terpaksa, maka perbuatan tersebut bukanlah gejala akhlaq.
            Berdasarkan sifatnya, akhlak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terpuji (akhlak mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah). Adapun penjelasan dan macam-macam akhlak terpuji dan akhlak tercela.
            Dalam ilmu tasawuf, untuk mencapai tujuannya ilmu akhlak sangat berperan didalamnya. Ilmu akhlak dapat membantu seseorang untuk menghilangkan berbagai kotoran hati yang dapat menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pintu gerbang ilmu tasawuf








DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. AKHLAK TASAWUF. Bandung : Pustaka Setia. 2010
Sholihin M. & Anwar, M Rosyid. AKHLAK TASAWUF ( Manusia, Etika dan Makna Hidup ). Bandung : Nuansa. 2005
Syathori. Etika Islam. Bandung : Diponegoro. 1993
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai pustaka. 1984